Sabtu, 01 September 2012

PERAN TELAGA DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR DI KAWASAN KARST GUNUNGSEWU KECAMATAN SEMANU KABUPATEN GUNUNGKIDUL PASCA PEMBANGUNAN JARINGAN AIR BERSIH



Ahmad Cahyadi 1), Dhandun Wacano2), Hendy Fatchurohman3), dan Muhammad Abdul Azis Ramdani4)
1), 2)Mahasiswa Program Beasiswa Unggulan BPKLN KEMDIKBUD RI pada Magister Perencaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS), Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
3), 4) Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
1), 2), 3), 4) Karst Student Forum (KSF) Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada


Abstrak
Kawasan karst adalah kawasan yang terbentuk oleh proses pelarutan batuan karbonat sehingga menyebabkan kondisi kering di permukaan dan kaya air di bawah permukaan. Hal tersebut menyebabkan sumber air permukaan yang langka seperti telaga dan mataair menjadi sangat penting. Namun demikian, saat ini kawasan karst yang terdapat di Kabupaten Gunungkidul hampir semua telah terjangkau jaringan pipa air bersih. Hal ini tentunya akan menyebabkan ketergantungan terhadap telaga dan mataair menjadi berkurang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan telaga dalam pemenuhan kebutuhan air bersih di kawasan karst Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul pasca pembangunan jaringan pipa air bersih. Metode yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara mendalam (In-depth interviews) pada 30 blok permukiman yang terletak di kecamatan Semanu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini telaga tidak lagi berfungsi untuk sumber pemenuhan air minum. Namun demikian telaga masih digunakan untuk mencuci, memandikan ternak, sumber air minum untuk ternak, serta tempat budidaya ikan yang dikelola oleh masyarakat secara bersama-sama.

Kata kunci: karst, telaga, kebutuhan air

Abstract
Karst region is a region formed by the dissolution of carbonate rocks, causing dry conditions in surface and subsurface water rich. This causes a rare source of surface water such as logva and springs are very important. However, currently karst areas in Gunungkidul Regency almost all have affordable water supply network. This will naturally lead to dependence on the lake and the springs to be reduced. The purpose of this study was to determine the role of logva in the fulfilment of water needs in Gunungsewu karst area, Semanu sub District, Gunungkidul Regency in the post-development of water supply network. The method is to do with in-depth interviews in 30 residential blocks located in the Semanu sub  District. The results showed that the current logva is no longer working for the fulfillment of drinking water sources. However, the logva is still used for washing, bathing the cattle, the source of drinking water for livestock, as well as for fish farming is managed by the community together.

Keywords: karst, logva, water needs

PENDAHULUAN
  
Milanovic (2004) menyebutkan bahwa karst adalah bentuklahan yang dominan terbentuk oleh pekarutan batuan gamping, dolomit, marmer, gipsum, dan batuan garam. Kawasan ini diperkirakan menutup kurang lebih 25% dari permukaan bumi (Milanovic, 2004) dan 20% dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Balasz, 1968). Proses pelarutan yang terjadi menyebabkan air permukaan dengan cepat meresap menuju sistem air bawah tanah akibat keberadaan diaklas-diaklas (retakan-retakan) serta lubang-lubang yang berukuran kecil/diffuse, sedang/fissure atau berukuran besar/conduit (White, 1988). Hal ini menyebabkan kondisi di permukaan tanah terkesan gersang berbatu serta banyak air di bawah permukaan (Cahyadi, 2010). Langkanya air permukaan menyebabkan sumber air dipermukaan berupa danau doline/telaga (logva) serta mata air di kawasan karst menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan air penduduk (Santosa, 2007).
Kawasan karst Gunungsewu adalah salah satu kawasan karst di Indonesia yang terkenal karena telah ditetapkan sebagai world natural heritage pada Tahun 2006. Sebagian kawasan ini masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Gunungkidul, yang meliputi Kecamatan Ponjong, Wonosari, Rongkop, Girisubo, Tepus, Tanjungsari, Semanu, Panggang, Paliyan, Playen dan Purwosari. Hampir semua permukiman di kawasan karst di kabupaten Gunungkidul saat ini telah dijangkau oleh jaringan pipa PDAM yang memanfaatkan sumber air dari sungai bawah tanah (Suryono,  2006). Kondisi ini tentunya akan menyebabkan perubahan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air yang lain seperti telaga dan mata air di kawasan karst. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran telaga di Kawasan Karst Gunungsewu dalam pemenuhan kebutuhan air pasca pembangunan jaringan air bersih oleh pemerintah. Namun demikian karena keterbatasan waktu dan biaya, maka penelitian ini hanya mengambil studi kasus di kawasan karst yang terletak di Kecamatan Semanu ,Kabupaten Gunungkidul. Hal ini karena tiga dari lima sumber air yang digunakan untuk sumber air PDAM terletak di Kecamatan Semanu, sehingga kemungkinan dengan jarak yang dekat ini seluruh wilayah dari kecamatan ini telah terakses jaringan pipa PDAM.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara mendalam (in-depth interviews) pada setiap blok permukiman yang didasarkan pada peta penggunaan lahan yang diekstrak dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1: 25.000 terbitan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Hal ini didasari kenyataan bahwa pola permukiman yang terdapat di kawasan karst adalah mengelompok (Marfai, 2011). Jumlah blok permukiman yang terdapat di wilayah kajian adalah 30, sehingga jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 30 orang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sumber air bersih yang didistribusikan oleh PDAM Kabupaten Gunungkidul bersumber dari lima sumber utama. Kelima sumber air yang digunakan adalah Bribin 1, Bribin 2 (Sindon), Seropan, Baron dan Ngobaran. Keseleruhan sumber air yang digunakan berasal dari aliran sungai bawah tanah. Hasil wawancara mendalam di lokasi penelitian menunjukkan bahwa lokasi penelitian termasuk dalam jaringan air bersih yang berasal dari Bribin 1 dan 2 serta Seropan. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Suryono (2006) seperti ditampilkan pada Tabel 1. Terbatasnya jumlah aliran air yang mampu didistribusikan menyebabkan aliran air dari PDAM dilakukan secara bergilir, di mana wilayah yang sama akan teraliri dua hari dalam seminggu. Kondisi ini menyebabkan masyarakat sebanyak mungkin mengalirkan air dari PDAM pada saat air PDAM mengalir sampai tampungan air berupa penampungan air hujan (PAH) penuh.

Tabel 1. Sistem Pelayanan Air Bersih PDAM Gunungkidul
Sistem
Daerah Pelayanan
Jumlah Sambungan Hidran Umum
Jumlah Sambungan Saluran Rumah Tangga
Jumlah Dusun dan Desa Yang Terlayani
Bribin 1 dan 2
Kecamatan Semanu, Tepus, Rongkop, dan Girisubo
510
7.387
134 dusun;
21 desa
Seropan
Kecamatan Semanu, Ponjong, Karangmojo, dan Wonosari
115
7.292
134 dusun;
21 desa
Baron
Kecamatan Tanjungsari
57
874
32 dusun;
4 desa
Ngobaran
Kecamatan Saptosari, Purwosari dan Panggang
180
6.811
152 dusun;
40 desa
Sumber: Suryono (2006)

Hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa pada masa lalu ketika jaringan air bersih belum ada, masyarakat menggunakan telaga untuk memenuhi kebutuhan air minum, memasak, mencuci, memandikan ternak serta untuk sumber air bagi ternak. Hal ini dilaporkan juga oleh Worosuprojo (1997) dan Santosa (2007) yang menyebutkan bahwa telaga memiliki peranan yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan air di kawasan karst Kabupaten Gunungkidul, khususnya pada saat musim kemarau. Kondisi ini disebabkan karena kebutuhan air pada musim dipenuhi dari air hujan. Pemanenan air hujan dilakukan dengan mengalirkan air hujan yang jatuh pada atap rumah ke tempat penampungan air hujan (PAH).
Meskipun tidak  lagi digunakan sebagai sumber air minum, masyarakat di kawasan karst Kecamatan Semanu menganggap keberadaan telaga masih menjadi bagian penting dalam pemenuhan kebutuhan air. Hal ini karena saat ini telaga masih digunakan untuk mencuci, memandikan ternak, sumber air minum untuk ternak, serta tempat budidaya ikan yang dikelola oleh masyarakat secara bersama-sama (Gambar 1). Selain itu,  persepsi tentang telaga sebagai bagian penting dalam pemenuhan kebutuhan air di kawasan karst  dapat dilihat dari perilaku masyarakat dalam menjaga kondisi telaga seperti adanya larangan menebang pohon di sekitar telaga dan penghijauan wilayah di sekitar telaga. Namun demikian, kondisi beberapa telaga yang telah mati dan tidak lagi tergenang air (hanya tergenang dalam waktu sangat singkat setelah hujan atau bahkan menjadi tegalan) akibat pendangkalan menyebabkan masyarakat menjadikannya tanah kas dusun yang di sewakan untuk kegiatan pertanian. Setiap awal tahun tanam, dilakukan lelang bagi masyarakat yang berminat untuk mengolah tanah bekas telaga. Pemenang lelang dapat mengolah lahan bekas telaga selama satu tahun. Kondisi ini terjadi misalnya di telaga Ploso, Dusun Ploso, Desa Dadapayu.
 

Gambar 2. Pemanfaatan Telaga Nangsri untuk Memandikan Ternak, Mencuci dan Mandi

Pemanfaatan telaga yang lain untuk budidaya ikan. Budidaya ikan di telaga biasanya dikelola oleh organisasi masyarakat. Bibit ikan disebarkan dan hasil panen nantinya diusahakan untuk kepentingan masyarakat. Masa panen dimanfaatkan penduduk untuk membuka pemancingan. Pemancingan diadakan dengan sistem harian. Pengunjung membayar sejumlah uang dan diperbolehkan memancing hingga waktu yang ditentukan berapapun ikan yang diperoleh. Sistem seperti ini memberikan keuntungan yang cukup besar. Berdasarkan keterangan warga, penghasilan dari pemancingan di telaga dapat mencapai 9-15 juta rupiah per tahun. Dana hasil pengelolaan pemancingan tersebut  digunakan untuk  kas dan kemajuan desa. Sistem pengelolaan telaga seperti ini diantaranya diterapkan di Telaga Nangsri, Jonge, Jetis, Mendak dan beberapa telaga lainnya. Hal itu menjadikan fungsi telaga masih penting di mata masyarakat meskipun tidak lagi untuk pemenuhan kebutuhan air bersih.

  Hasil wawancara mendalam mengungkap fakta bahwa banyak telaga di kawasan karst Kecamatan Semanu telah mengalami kerusakan. Kerusakan terjadi akibat pendangkalan dan terbukanya sistem saluran bawah tanah akibat pengerukan saat dilakukan pembangunan talut. Telaga Pego yang terletak di Dusun Gemulung, Desa Ngeposari misalnya, mengalami pendangkalan yang hebat sejak dilakukannya penebangan kayu secara ilegal dan pengolahan tegalan pada perbukitan di sekitarnya. Kondisi ini mulai terjadi pada Tahun 1980-an. Selain itu, beberapa responsden menggungkapkan bahwa banyak telaga yang menjadi kering pada saat musim kemarau sejak dilakukan pembangunan talut oleh pemerintah (beberapa menyebutkan dilakukan melalui program ABRI masuk desa) yang banyak terjadi pada Tahun 1980-an sampai awal 1990-an. Kondisi ini misalnya terjadi di Telaga Bulu, Dusun Bulu serta Telaga Plebengan di Dusun Plebengan, Desa Candirejo (Gambar 2). Hal ini terjadi akibat proses pembangunan yang dilakukan dengan pengerukan tanah di dalam telaga telah membuka saluran atau lubang yang menghubungkan dengan sistem sungai bawah tanah. Lubang tersebut awalnya tertutup oleh sedimen lempung yang tidak tembus air (impermeable), namun karena pengerukan makan lubang atau lorong tersebut terbuka di bagian bawah atau samping telaga. Kondisi tersebut menyebabkan kapasitas telaga berkurang serta resapan ke dalam sistem sungai bawah tanah menjadi lebih banyak sehingga pada musim kemarau telaga menjadi kering.
Kerusakan daerah resapan telaga juga menyebabkan telaga lebih cepat kering. Bukit-bukit karst yang ada di sekitar telaga  berfungsi sebagai daerah resapan yang akan memberi suplai air ke telaga. Penambangan batugamping akan memberi dampak buruk terhadap kemampuan bukit meresapkan air, sehingga jumlah air yang diresapkan juga berkurang. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui fungsi dari kawasan bukit-bukit gamping yang ada di sekitar telaga. Belum ada upaya konservasi yang serius, karena bukit memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.  Bukit biasanya ditanami pohon jati dan diperjualbelikan. Beberapa bukit bahkan ada yang dijual untuk dijadikan lahan tambang batugamping. Kerusakan bukit ini juga akna berpengaruh terhadap suplai air ke telaga.
Gambar 2. Telaga Plebengan Lor yang Selalu Kering saat Musim Kemarau Pasca di Talud

PENUTUP
Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telaga di kawasan karst Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul saat ini sudah tidak lagi digunakan sebagai sumber air minum. Namun demikian telaga masih digunakan untuk mencuci, memandikan ternak, menyirami tanaman, budidaya ikan air tawar dan sumber air bagi minum ternak. Hal ini berarti bahwa pasca pembangunan jaringan air bersih oleh PDAM telaga masih memberikan kontribusi yang besar bagi pemenuhan kebutuhan air di kawasan karst Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul, meskipun perannya sudah tidak sebesar masa lalu.

Saran

Pengelolaan telaga hendaknya tetap terus dilakukan dan diupayakan karena telaga di kawasan karst masih berperan besar dalam pemenuhan kebutuhan air penduduk. Namun demikian diperlukan suatu kajian tentang pengelolaan telaga yang berkelanjutan. Keluhan masyarakat terkait dengan kerusakan sejumlah telaga pasca pengelolaan secara teknik konvensional hendaknya memberikan suatu pembelajaran bagi pengelolaan telaga di masa mendatang.


Daftar Pustaka
Balasz. Karst Region in Indonesia.” Karszt-Es Barkangkutatas-Volume V. Budapest. 1968.
Cahyadi, Ahmad. “Pengelolaan Kawasan Karst dan  Peranannya dalam Siklus Karbon di Indonesia.Proseeding Seminar Nasional Perubahan Iklim di Indonesia. Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 2010.
Marfai, Muh Aris. Pengantar Pemodelan Geografi. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFGE) Universitas Gadjah Mada, 2011.
Milanovic, Petar T. Water Resources Engineering in Karst. Boca Raton, Florida: CRC Press, 2004.
Santosa, Langgeng Wahyu. Kerusakan Telaga Dolin dan Faktor-Faktornya di Wilayah Perbukitan Karst Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Kebencanaan Indonesia, 1/3(2007): 176-193.
Suryono, Thomas. Pengelolaan Sumber Air Bawah Tanah Sungai Bribin. Gunung Sewu Indonesian Cave and Karst Journal, 2/1(2006): 37-52.
White, William B. Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains. New York: Oxford University Press, 1988.
Worosuprojo, Suratrnan. "Kajian Ekosistem Karst di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istirnewa Yogyakarta."   Laporan   Penelitian,   Fakultas   Geografi  UGM   Yogyakarta   dan   Biro   Bina Lingkungan Hidup Propinsi Daerah Istirnewa Yogyakarta (1997).

PERAN TELAGA DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR DI KAWASAN KARST GUNUNGSEWU KECAMATAN SEMANU KABUPATEN GUNUNGKIDUL PASCA PEMBANGUNAN JARINGAN AIR BERSIH



Ahmad Cahyadi 1), Dhandun Wacano2), Hendy Fatchurohman3), dan Muhammad Abdul Azis Ramdani4)
1), 2)Mahasiswa Program Beasiswa Unggulan BPKLN KEMDIKBUD RI pada Magister Perencaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS), Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
3), 4) Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
1), 2), 3), 4) Karst Student Forum (KSF) Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada


Abstrak
Kawasan karst adalah kawasan yang terbentuk oleh proses pelarutan batuan karbonat sehingga menyebabkan kondisi kering di permukaan dan kaya air di bawah permukaan. Hal tersebut menyebabkan sumber air permukaan yang langka seperti telaga dan mataair menjadi sangat penting. Namun demikian, saat ini kawasan karst yang terdapat di Kabupaten Gunungkidul hampir semua telah terjangkau jaringan pipa air bersih. Hal ini tentunya akan menyebabkan ketergantungan terhadap telaga dan mataair menjadi berkurang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan telaga dalam pemenuhan kebutuhan air bersih di kawasan karst Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul pasca pembangunan jaringan pipa air bersih. Metode yang dilakukan adalah dengan melakukan wawancara mendalam (In-depth interviews) pada 30 blok permukiman yang terletak di kecamatan Semanu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini telaga tidak lagi berfungsi untuk sumber pemenuhan air minum. Namun demikian telaga masih digunakan untuk mencuci, memandikan ternak, sumber air minum untuk ternak, serta tempat budidaya ikan yang dikelola oleh masyarakat secara bersama-sama.

Kata kunci: karst, telaga, kebutuhan air

Abstract
Karst region is a region formed by the dissolution of carbonate rocks, causing dry conditions in surface and subsurface water rich. This causes a rare source of surface water such as logva and springs are very important. However, currently karst areas in Gunungkidul Regency almost all have affordable water supply network. This will naturally lead to dependence on the lake and the springs to be reduced. The purpose of this study was to determine the role of logva in the fulfilment of water needs in Gunungsewu karst area, Semanu sub District, Gunungkidul Regency in the post-development of water supply network. The method is to do with in-depth interviews in 30 residential blocks located in the Semanu sub  District. The results showed that the current logva is no longer working for the fulfillment of drinking water sources. However, the logva is still used for washing, bathing the cattle, the source of drinking water for livestock, as well as for fish farming is managed by the community together.

Keywords: karst, logva, water needs

PENDAHULUAN
  
Milanovic (2004) menyebutkan bahwa karst adalah bentuklahan yang dominan terbentuk oleh pekarutan batuan gamping, dolomit, marmer, gipsum, dan batuan garam. Kawasan ini diperkirakan menutup kurang lebih 25% dari permukaan bumi (Milanovic, 2004) dan 20% dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Balasz, 1968). Proses pelarutan yang terjadi menyebabkan air permukaan dengan cepat meresap menuju sistem air bawah tanah akibat keberadaan diaklas-diaklas (retakan-retakan) serta lubang-lubang yang berukuran kecil/diffuse, sedang/fissure atau berukuran besar/conduit (White, 1988). Hal ini menyebabkan kondisi di permukaan tanah terkesan gersang berbatu serta banyak air di bawah permukaan (Cahyadi, 2010). Langkanya air permukaan menyebabkan sumber air dipermukaan berupa danau doline/telaga (logva) serta mata air di kawasan karst menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan air penduduk (Santosa, 2007).
Kawasan karst Gunungsewu adalah salah satu kawasan karst di Indonesia yang terkenal karena telah ditetapkan sebagai world natural heritage pada Tahun 2006. Sebagian kawasan ini masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Gunungkidul, yang meliputi Kecamatan Ponjong, Wonosari, Rongkop, Girisubo, Tepus, Tanjungsari, Semanu, Panggang, Paliyan, Playen dan Purwosari. Hampir semua permukiman di kawasan karst di kabupaten Gunungkidul saat ini telah dijangkau oleh jaringan pipa PDAM yang memanfaatkan sumber air dari sungai bawah tanah (Suryono,  2006). Kondisi ini tentunya akan menyebabkan perubahan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air yang lain seperti telaga dan mata air di kawasan karst. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran telaga di Kawasan Karst Gunungsewu dalam pemenuhan kebutuhan air pasca pembangunan jaringan air bersih oleh pemerintah. Namun demikian karena keterbatasan waktu dan biaya, maka penelitian ini hanya mengambil studi kasus di kawasan karst yang terletak di Kecamatan Semanu ,Kabupaten Gunungkidul. Hal ini karena tiga dari lima sumber air yang digunakan untuk sumber air PDAM terletak di Kecamatan Semanu, sehingga kemungkinan dengan jarak yang dekat ini seluruh wilayah dari kecamatan ini telah terakses jaringan pipa PDAM.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara mendalam (in-depth interviews) pada setiap blok permukiman yang didasarkan pada peta penggunaan lahan yang diekstrak dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1: 25.000 terbitan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Hal ini didasari kenyataan bahwa pola permukiman yang terdapat di kawasan karst adalah mengelompok (Marfai, 2011). Jumlah blok permukiman yang terdapat di wilayah kajian adalah 30, sehingga jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 30 orang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sumber air bersih yang didistribusikan oleh PDAM Kabupaten Gunungkidul bersumber dari lima sumber utama. Kelima sumber air yang digunakan adalah Bribin 1, Bribin 2 (Sindon), Seropan, Baron dan Ngobaran. Keseleruhan sumber air yang digunakan berasal dari aliran sungai bawah tanah. Hasil wawancara mendalam di lokasi penelitian menunjukkan bahwa lokasi penelitian termasuk dalam jaringan air bersih yang berasal dari Bribin 1 dan 2 serta Seropan. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Suryono (2006) seperti ditampilkan pada Tabel 1. Terbatasnya jumlah aliran air yang mampu didistribusikan menyebabkan aliran air dari PDAM dilakukan secara bergilir, di mana wilayah yang sama akan teraliri dua hari dalam seminggu. Kondisi ini menyebabkan masyarakat sebanyak mungkin mengalirkan air dari PDAM pada saat air PDAM mengalir sampai tampungan air berupa penampungan air hujan (PAH) penuh.

Tabel 1. Sistem Pelayanan Air Bersih PDAM Gunungkidul
Sistem
Daerah Pelayanan
Jumlah Sambungan Hidran Umum
Jumlah Sambungan Saluran Rumah Tangga
Jumlah Dusun dan Desa Yang Terlayani
Bribin 1 dan 2
Kecamatan Semanu, Tepus, Rongkop, dan Girisubo
510
7.387
134 dusun;
21 desa
Seropan
Kecamatan Semanu, Ponjong, Karangmojo, dan Wonosari
115
7.292
134 dusun;
21 desa
Baron
Kecamatan Tanjungsari
57
874
32 dusun;
4 desa
Ngobaran
Kecamatan Saptosari, Purwosari dan Panggang
180
6.811
152 dusun;
40 desa
Sumber: Suryono (2006)

Hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa pada masa lalu ketika jaringan air bersih belum ada, masyarakat menggunakan telaga untuk memenuhi kebutuhan air minum, memasak, mencuci, memandikan ternak serta untuk sumber air bagi ternak. Hal ini dilaporkan juga oleh Worosuprojo (1997) dan Santosa (2007) yang menyebutkan bahwa telaga memiliki peranan yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan air di kawasan karst Kabupaten Gunungkidul, khususnya pada saat musim kemarau. Kondisi ini disebabkan karena kebutuhan air pada musim dipenuhi dari air hujan. Pemanenan air hujan dilakukan dengan mengalirkan air hujan yang jatuh pada atap rumah ke tempat penampungan air hujan (PAH).
Meskipun tidak  lagi digunakan sebagai sumber air minum, masyarakat di kawasan karst Kecamatan Semanu menganggap keberadaan telaga masih menjadi bagian penting dalam pemenuhan kebutuhan air. Hal ini karena saat ini telaga masih digunakan untuk mencuci, memandikan ternak, sumber air minum untuk ternak, serta tempat budidaya ikan yang dikelola oleh masyarakat secara bersama-sama (Gambar 1). Selain itu,  persepsi tentang telaga sebagai bagian penting dalam pemenuhan kebutuhan air di kawasan karst  dapat dilihat dari perilaku masyarakat dalam menjaga kondisi telaga seperti adanya larangan menebang pohon di sekitar telaga dan penghijauan wilayah di sekitar telaga. Namun demikian, kondisi beberapa telaga yang telah mati dan tidak lagi tergenang air (hanya tergenang dalam waktu sangat singkat setelah hujan atau bahkan menjadi tegalan) akibat pendangkalan menyebabkan masyarakat menjadikannya tanah kas dusun yang di sewakan untuk kegiatan pertanian. Setiap awal tahun tanam, dilakukan lelang bagi masyarakat yang berminat untuk mengolah tanah bekas telaga. Pemenang lelang dapat mengolah lahan bekas telaga selama satu tahun. Kondisi ini terjadi misalnya di telaga Ploso, Dusun Ploso, Desa Dadapayu.
 

Gambar 2. Pemanfaatan Telaga Nangsri untuk Memandikan Ternak, Mencuci dan Mandi

Pemanfaatan telaga yang lain untuk budidaya ikan. Budidaya ikan di telaga biasanya dikelola oleh organisasi masyarakat. Bibit ikan disebarkan dan hasil panen nantinya diusahakan untuk kepentingan masyarakat. Masa panen dimanfaatkan penduduk untuk membuka pemancingan. Pemancingan diadakan dengan sistem harian. Pengunjung membayar sejumlah uang dan diperbolehkan memancing hingga waktu yang ditentukan berapapun ikan yang diperoleh. Sistem seperti ini memberikan keuntungan yang cukup besar. Berdasarkan keterangan warga, penghasilan dari pemancingan di telaga dapat mencapai 9-15 juta rupiah per tahun. Dana hasil pengelolaan pemancingan tersebut  digunakan untuk  kas dan kemajuan desa. Sistem pengelolaan telaga seperti ini diantaranya diterapkan di Telaga Nangsri, Jonge, Jetis, Mendak dan beberapa telaga lainnya. Hal itu menjadikan fungsi telaga masih penting di mata masyarakat meskipun tidak lagi untuk pemenuhan kebutuhan air bersih.

  Hasil wawancara mendalam mengungkap fakta bahwa banyak telaga di kawasan karst Kecamatan Semanu telah mengalami kerusakan. Kerusakan terjadi akibat pendangkalan dan terbukanya sistem saluran bawah tanah akibat pengerukan saat dilakukan pembangunan talut. Telaga Pego yang terletak di Dusun Gemulung, Desa Ngeposari misalnya, mengalami pendangkalan yang hebat sejak dilakukannya penebangan kayu secara ilegal dan pengolahan tegalan pada perbukitan di sekitarnya. Kondisi ini mulai terjadi pada Tahun 1980-an. Selain itu, beberapa responsden menggungkapkan bahwa banyak telaga yang menjadi kering pada saat musim kemarau sejak dilakukan pembangunan talut oleh pemerintah (beberapa menyebutkan dilakukan melalui program ABRI masuk desa) yang banyak terjadi pada Tahun 1980-an sampai awal 1990-an. Kondisi ini misalnya terjadi di Telaga Bulu, Dusun Bulu serta Telaga Plebengan di Dusun Plebengan, Desa Candirejo (Gambar 2). Hal ini terjadi akibat proses pembangunan yang dilakukan dengan pengerukan tanah di dalam telaga telah membuka saluran atau lubang yang menghubungkan dengan sistem sungai bawah tanah. Lubang tersebut awalnya tertutup oleh sedimen lempung yang tidak tembus air (impermeable), namun karena pengerukan makan lubang atau lorong tersebut terbuka di bagian bawah atau samping telaga. Kondisi tersebut menyebabkan kapasitas telaga berkurang serta resapan ke dalam sistem sungai bawah tanah menjadi lebih banyak sehingga pada musim kemarau telaga menjadi kering.
Kerusakan daerah resapan telaga juga menyebabkan telaga lebih cepat kering. Bukit-bukit karst yang ada di sekitar telaga  berfungsi sebagai daerah resapan yang akan memberi suplai air ke telaga. Penambangan batugamping akan memberi dampak buruk terhadap kemampuan bukit meresapkan air, sehingga jumlah air yang diresapkan juga berkurang. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui fungsi dari kawasan bukit-bukit gamping yang ada di sekitar telaga. Belum ada upaya konservasi yang serius, karena bukit memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.  Bukit biasanya ditanami pohon jati dan diperjualbelikan. Beberapa bukit bahkan ada yang dijual untuk dijadikan lahan tambang batugamping. Kerusakan bukit ini juga akna berpengaruh terhadap suplai air ke telaga.
Gambar 2. Telaga Plebengan Lor yang Selalu Kering saat Musim Kemarau Pasca di Talud

PENUTUP
Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa telaga di kawasan karst Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul saat ini sudah tidak lagi digunakan sebagai sumber air minum. Namun demikian telaga masih digunakan untuk mencuci, memandikan ternak, menyirami tanaman, budidaya ikan air tawar dan sumber air bagi minum ternak. Hal ini berarti bahwa pasca pembangunan jaringan air bersih oleh PDAM telaga masih memberikan kontribusi yang besar bagi pemenuhan kebutuhan air di kawasan karst Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul, meskipun perannya sudah tidak sebesar masa lalu.

Saran

Pengelolaan telaga hendaknya tetap terus dilakukan dan diupayakan karena telaga di kawasan karst masih berperan besar dalam pemenuhan kebutuhan air penduduk. Namun demikian diperlukan suatu kajian tentang pengelolaan telaga yang berkelanjutan. Keluhan masyarakat terkait dengan kerusakan sejumlah telaga pasca pengelolaan secara teknik konvensional hendaknya memberikan suatu pembelajaran bagi pengelolaan telaga di masa mendatang.


Daftar Pustaka
Balasz. Karst Region in Indonesia.” Karszt-Es Barkangkutatas-Volume V. Budapest. 1968.
Cahyadi, Ahmad. “Pengelolaan Kawasan Karst dan  Peranannya dalam Siklus Karbon di Indonesia.Proseeding Seminar Nasional Perubahan Iklim di Indonesia. Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 2010.
Marfai, Muh Aris. Pengantar Pemodelan Geografi. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFGE) Universitas Gadjah Mada, 2011.
Milanovic, Petar T. Water Resources Engineering in Karst. Boca Raton, Florida: CRC Press, 2004.
Santosa, Langgeng Wahyu. Kerusakan Telaga Dolin dan Faktor-Faktornya di Wilayah Perbukitan Karst Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Kebencanaan Indonesia, 1/3(2007): 176-193.
Suryono, Thomas. Pengelolaan Sumber Air Bawah Tanah Sungai Bribin. Gunung Sewu Indonesian Cave and Karst Journal, 2/1(2006): 37-52.
White, William B. Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains. New York: Oxford University Press, 1988.
Worosuprojo, Suratrnan. "Kajian Ekosistem Karst di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istirnewa Yogyakarta."   Laporan   Penelitian,   Fakultas   Geografi  UGM   Yogyakarta   dan   Biro   Bina Lingkungan Hidup Propinsi Daerah Istirnewa Yogyakarta (1997).