Sabtu, 20 April 2013

STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP BENCANA KEKERINGAN DI KAWASAN KARST KECAMATAN PANGGANG, GUNUNGKIDUL


STRATEGI ADAPTASI MASYARAKAT
TERHADAP BENCANA KEKERINGAN
DI KAWASAN KARST KECAMATAN PANGGANG, GUNUNGKIDUL
 

Hendy Fatchurohman1  dan  Ahmad Cahyadi2
1,2Karst Studied Forum (KSF) Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
1Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
2Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS)
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada


INTISARI

Curah hujan yang cukup tinggi di Kecamatan Panggang (1875-2125 mm/tahun) tidak menjamin daerah tersebut berkecukupan dalam hal ketersediaan sumberdaya air untuk memenuhi kebutruhan air bersih bagi penduduknya. Bentanglahan karst yang berkembangdi wilayah tersebut menyebabkan kondisi permukaan kering. Kekeringan litologis ini menyebabkan masyarakat yang tinggal di dalamnya selalu mengalami bencana kekeringan setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk; (1) Mengidentifikasi potensi sumberdaya air di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul, (2) Mengidentifikasi dampak kekeringan yang dirasakan masyarakat, dan (3) Mengidentifikasi strategi adapatasi masyarakat terhadap bencana kekeringan di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei wawancara dengan random sampling di setiap blok permukiman dan in-depth interview, di mana setiap blok permukiman diambil delapan responden secara acak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya air alami yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih berasal di Kecamatan Panggang seperti telaga, mataair dan air hujan. Masyarakat juga memanfaatkan sumber air lain dari saluran PDAM yang berasal dari Sungai Bawah Tanah Ngobaran dan tangki penyedia air bersih yang mengambil air dari mataair. Dampak kekeringan yang dirasakan masyarakat meliputi  menurunnya jumlah produksi pertanian, dan kesulitan pemenuhan kebutuhan air akibat tidak adanya hujan, mengeringnya tel;aga dan menurunnya atau matinya debit dari mataair. Berbagai strategi adaptasi dilakukan dalam rangka bertahan menghadapi bencana kekeringan seperti optimalisasi fungsi telaga dan mataair pada musim penghujan. Pengurangan penggunaan air pada musim kemarau dan beberapa peraturan yang didasari kearifan lokal diterapkan untuk menjaga kelestarian sumber air.

Kata Kunci : Karst, Kekeringan, Sumberdaya Air, Adaptasi


PENDAHULUAN

Kawasan karst adalah kawasan yang  terbentuk oleh kombinasi batuan dengan tingkat kelarutan tinggi serta porositas sekunder yang berkembang baik ( Ford and Williams, 2007). Berkembangnya porositas sekunder tersebut menyebabkan air akan langsung masuk ke sistem aliran  bawah tanah. Hal ini menyebabkan kondisi di permukaan cenderung kering dan kekurangan air. Namun demikian, minimnya air permukaan di kawasan karst sebenarnya diikuti oleh besarnya jumlah air yang tersimpan di bawah tanah.
Kabupaten Gunungkidul terkenal sebagai salah satu kabupaten di Provinsi DIY yang selalu dilanda bencana kekeringan dan kekurangan air pada musim kemarau. Kekurangan air tersebut bukanlah kekeringan secara meteorologis karena wilayah Kabupaten Gunungkidul memiliki curah hujan rata-rata tahunan yang cukup tinggi. Kondisi geologis kawasan karst dengan porositas sekundernya menyebabkan air yang ada di permukaan langsung masuk ke dalam sistem aliran bawah tanah .
Sebanyak 10 Kecamatan atau lebih dari 170 pedukuhan di Kabupaten Gunungkidul mengalami kekeringan pada medio Juli-Oktober 2012 (www. antaranews.com, 30 Juli 2012). Kekurangan air pada musim kemarau bukan menjadi hal baru bagi masyarakat yang tinggal di kawasan karst Gunungsewu Kabupaten Gunungkidul. Setiap tahun bencana kekeringan sudah menjadi hal yang pasti akan dihadapi warga Gunungkidul. Kekeringan bukan lagi menjadi hal yang luar biasa meskipun materi yang harus dikeluarkan setiap tahun untuk pemenuhan kebutuhan air sangat besar.
Air yang merupakan sumber utama kehidupan tentunya harus diupayakan untuk memenuhi kebutuhan. Kekurangan air merupakan masalah yang cukup sakral dalam kehidupan. Keharusan untuk terus bertahan hidup menyebabkan masyarakat melakukan beberapa perilaku adaptasi terhadap lingkungan. Adaptasi dalam pemenuhan kebutuhan air ini berkembang dari waktu ke waktu. Pola adaptasi ini perlu dipahami dalam rangka untuk merencanakan pengurangan risiko bencana kekeringan di kawasan karst serta sebagai suatu model yang mungkin dapat diterapkan untuk wilayah lain dengan karakteristik yang sama atau hampir sama.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:
1.      Mengidentifikasi potensi sumberdaya air di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul,
2.      Mengidentifikasi dampak kekeringan yang dirasakan masyarakat,
3.      Mengidentifikasi strategi adapatasi masyarakat terhadap bencana kekeringan di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul.


TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu bentuklahan yang dominan di Kabupaten Gunungkidul adalah bentuklahan karst. Bentuklahan ini berkembang luas di bagian Selatan. Ford dan Williams (2007) menyebutkan bahwa karst merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan medan dengan kondisi hidrologi yang khas dan berkembang pada batuan yang mudah larut. Karst tebentuk oleh adanya kombinasi batuan yang mudah larut dan perkembangan porositas sekunder. Perkembangan porositas sekunder dan aliran bawah tanah cenderung menyebabkan kondisi permukaan kering dan gersang.
Gambar 1. Bentuklahan karst
( Sumber :
http://www.parc-grands-causses.fr/fr/karst.asp )
Kekeringan adalah kondisi di mana periode kering terjadi melebihi normal, curah hujan menurun, aliran sungai mengecil, serta air yang tertampung di danau atau waduk semakin sedikit (Nagarajan, 2009 ). Suyono (2007) menyebutkan bahwa kekeringan dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya :

1.    Kekeringan hidrometeorologis:
·         Bila P <  Eta
·         Bulan kering: P <  100 mm/bln (Asdak, 1995)
·         Bulan kering: P <  60 mm/bln  (Asdak, 1995)
2.    Kekeringan litologis:
·         Lapisan batuan tidak mampu menyimpan dan melepaskan air (Aquifuge)
3.    Kekeringan Aktual:
·         Kebutuhan air > ketersediaan air
Terdapat pula beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap kekeringan, diantaranya :
a)     Penyimpangan musim (jumlah hujan setahun rendah dan tidak merata sepanjang tahun)
b)     Faktor litologis (batuan tidak mampu menyimpan dan melepas air)
c)      Faktor topografis (air mengalir kearah yang rendah, air dijumpai di cekungan, lereng bawah dan dataran)
d)     Kebutuhan air melampaui ketersediaan airPenyimpangan musim (jumlah hujan setahun rendah dan tidak merata sepanjang tahun)

Kekeringan di daerah karst lebih dipengaruhi oleh faktor litologis. Batuan induk berupa batuan karbonat menyebabkan terbentuknya rekahan yang mengontrol berkembangnya sistem hidrologis bawah tanah. Curah hujan yang turun secara cepat langsung masuk ke sistem bawah tanah melalui ponor-ponor yang ada sehingga kondisi permukaan minim akan sumberdaya air. 
Suryanti, dkk. (2010) melakukan penelitian  mengenai strategi adaptasi ekologis masyarakat kawasan karst Gunungsewu dalam menghadapi bencana kekeringan dengan mengambil lokasi studi kasus di Kecamatan Tepus. Penelitian ini memiliki tujuan mengidentifikasi karakteristik wilayah, sumberdaya alam, dan masyarakat yang ada di Kawasan Karst Gunungsewu. Tujuan lain adalah mengidentifikasi dampak kekeringan terhadap penghidupan masyarakat dan menentukan strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi kekeringan.
Irianto (2003) menyebutkan bahwa bencana kekeringan lebih berbahaya dari banjir yang mampu menimbulkan kerugian sangat besar. Irianto (2003) menambahkan bahwa bencana kekeringan yang melanda berkepanjangan bahkan mampu meruntuhkan pilar kekuasaan atau mengganggu kondisi politik suatu wilayah. Kondisi tersebut pernah terjadi pada tahun 1965 dan 1997 ketika runtuhnya masa pemerintahan orde lama dan orde baru. Berdasarkan hal tersebut, maka semakin jelas bahwa kekeringan merupakan bencana yang tidak bisa dikesampingkan. Penanganan dan berbagai upaya penanggulangan harus dilakukan agar risiko yang mungkin terjadi dapat dikurangi (Hidayat, 2011).





METODE PENELITIAN

       Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei wawancara dengan random sampling di setiap blok permukiman dan in-depth interview, di mana setiap blok permukiman diambil delapan responden secara acak. Survei dilakukan di Kecamatan panggang Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Sumberdaya Air di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul

       Kecamatan Panggang adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Gunungkidul yang  terletak di bagian barat daya Kabupaten Gunungkidul. Kecamatan Panggang berbatasan  langsung dengan Kecamatan Saptosari di sebelah timur, Kecamatan Purwosari di sebelah barat, Kecamatan Imogiri dan paliyan di sebelah utara, serta Samudera Hindia di sebelah selatan. Secara geologis, Kecamatan Panggang masuk pada Formasi Wonosari (gambar 2). Mangunsukardjo (1999) menyebutkan bahwa formasi  wonosari tersusun atas batugamping kalkarenit.  Bahan dasar batugamping merupakan salah satu faktor pengontrol terbentuknya bentuklahan karst.


Gambar 2. Peta Geologi Kecamatan Panggang

       Sebagian besar batuan penyusun bentuklahan karst di Indonesia adalah batuan karbonat. Haryono dan Adji (2004) menyebutkan bahawa terdapat 2 faktor utama yang berpengaruh terhadap proses karstifikasi yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong. Faktor pengontrol adalah faktor yang menentukan keberlangsungan terjadinya karstifikasi sedangkan faktor pendorong berperan dalam kecepatan dan kesempurnaan karstifikasi. Lebih jauh dijelaskan bahwa faktor pengontrol terdiri dari tingkat kelarutan batuan, ketebalan, dan  perkembangan rekahan batuan. Besarnya curah hujan (>2500 mm/tahun), serta ketinggian batuan terekspos juga menjadi salah satu faktor pengotrol. Faktor pendorong terdiri dari temperatur dan tutupan hutan. Kedua faktor tersebut akan sangat menentukan dalam perkembangan bentuklahan karst.
       Perkembangan bentuklahan karst di Kecamatan Panggang  membentuk pola karst poligonal dengan karakter Batugamping terumbu yang keras dan dangkal, karren dan rongga pelarutan intensif, dan dijumpai bnyak mataair (Haryono, 2001; Haryono dan Day, 2005). Perkembangan bentuklahan karst tersebut menyebabkan kondisi permukaan kering karena air permukaan langsung masuk ke dalam sistem air bawah tanah.
       Nagarajan (2009) menyebutkan bahwa satu per tiga dari populasi dunia mengalami kekurangan air dan 1,1 milyar manusia mengalami kesulitan dalam mengakses air minum yang aman. Kekeringan juga menjadi masalah utama yang dirasakan masyarakat kawasan karst Gunungsewu termasuk masyarakat Kecamatan Panggang. Kekeringan yang terjadi di kawasan karst gunugsewu lebih disebabkan oleh kondisi geologis Formasi Wonosari yang memungkinkan terbentuknya bentuklahan karst.
       Minimnya sumber air di permukaan menyebabkan masyarakat selalu mengalami bencana kekeringan pada saat kemarau. Sumber air permukaan alami yang bisa dimanfaatkan hanyalah berupa telaga mataair dan air hujan yang ditampung dengan penampungan air hujan (PAH). Meskipun demikian, sebagian besar telaga dan mataair di Kecamatan Panggang tidak dapat dimanfaatkan sepanjang tahun karena ketersediaan airnya menurun atau bahkan kering pada musim kemarau. Keterbatasan tersebut menyebabkan masyarakat mencari alternatif sumber air yang lain. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan air adalah dengan memanfaatkan sisa dari rain water harvesting atau pemanenan air hujan dalam PAH, membeli air yang didistribusikan dengan truk tangki, memasang PDAM dan sebagian lagi memilih mengambil air dari mataair dan telaga yang masih dapat dimanfaatkan.
       Secara meteorologis sebenarnya kawasan Kecamatan Panggang memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan tahunan Kecamatan Panggang berkisar antara 1875-2125 mm/tahun (Gambar 3). Tingginya curah hujan tersebut tidak bisa dimanfaatkan dalam bentuk simpanan airtanah dangkal karena perkembangan porositas sekunder bentuklahan karst di Kecamatan Panggang. Masyarakat biasa memanfaatkan air hujan yang jatuh dengan menampungnya dan menggunakannya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan air sehari-hari.  Namun demikian, ukuran PAH yang hanya 3 m3 sampai dengan 9 m3 belum dapat menjamin ketersediaan air pada musim kemarau.



Gambar 3. Peta Hujan Wilayah Kecamatan Panggang

            Kebutuhan air masyarakat saat ini sebagian sudah dapat dipenuhi dari keberadaan jarigan pipa PDAM dan dropping air dari tangki – tangki air yang selalu beroperasi. Melalui pipa PDAM dan distribusi air dengan menggunakan tangki, sebenarnya masyarakat lebih mudah mendapatkan akses terhadap air bersih layak konsumsi. Namun demikian, jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membeli air cukup besar.  Sumber air alami yang dapat diakses masyarakat secara ekonomis selain air hujan hanyalah telaga dan mataair.

Tabel 1. Mataair di Kecamatan Panggang
No.
Nama Mataair
Desa
Debit (m3/thn)
Sifat Aliran
1.
Lekumet
Girisuko
220752
Menahun
2.
Ngrenggong
Girisuko
63072
Sesaat
3.
Donoyo
Girisuko
63072
Sesaat
4.
Bibal
Girisuko
12614.4
Menahun
5.
Watu bengkah
Giriwungu
126144
Menahun
6.
Benjit
Giriwungu
102492
Menahun
7.
Grigak
Girikarto
110376
Menahun
8.
Sanglor 1
Girisuko
630720
Menahun
9.
Sanglor 2
Girisuko
946080
Menahun
10.
Pacar 2
Girisuko
1261440
Menahun
11.
Njumbleng
Giriharjo
315360
Sesaat
Sumber: Sudarmadji dkk, 2012
Tabel 2. Telaga di Kecamatan Panggang
No.
Nama Telaga
Koordinat UTM
Administrasi
X
Y
Dusun/Dukuh
Desa/Kelurahan
1
Towet
441393
9111963
Blimbing
Girisekar
2
Pakem
440647
9110985
Bali
Girisekar
3
Sapoal
439795
9109915
Warak
Girisekar
4
Ngurik
439157
9111577
Warno
Girisekar
5
Gandrung
439184
9111577
Pringwatang
Girimulyo
6
Luweng Lor
437435
9111888
Legundi
Girimulyo
7
Pucong
438778
9111225
Macanmati
Girimulyo
8
Jurangjero
437712
9110111
Wintaos
Girimulyo
9
Pringsurat
436606
9108855
Tungu
Girimulyo
10
Grigu
436488
9106936
Petung
Giriwungu
11
Blekonang
437693
9107014
Karang
Girikarto
12
Ketileng
438004
9108125
Doplang
Girikarto
13
Sumurwuni
436158
9111182
Pejaten
Giriwungu
14
Dendeng Welut
436471
9113708
Jurug
Giriharjo
15
Gandu
436031
9113768
Panggang 2
Giriharjo
16
Dak Kawak
436551
9115438
gebang
Girisuko
17
Mendak
437947
9115262
dempul
Girisuko
18
Nongkojorong
437797
9115725
gebang
Girisuko
19
Genji
437289
9115750
gebang
Girisuko
20
Motoendro
439811
9114432
temuireng dua
Girisuko
21
Nglaran
440680
9114267
temuireng satu
Girisuko
22
Nganjan
437485
9117129
turunan
Girisuko

       Kecamatan Panggang memiliki beberapa mataair dan telaga yng banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai sarana pemenuhan kebutuhan air sehari – hari. Data mataair dan telaga menunjukkan bahwa terdapat sekitar 11 mataair dan 22 telaga yang terdapat di Kecamatan Panggang. Keberadaan mataair tersebut melingkupi mataair perenial (mengalir sepanjang musim) dan intermitten (kering pada musim kemarau). tidak berbeda jauh dengan kondisi mataair, terdapat beberapa telaga yang mengering di musim kemarau. Salah satu contoh mataair yang mengalir sepanjang tahun adalah mataair Sanglor II dan Pacar, sedangkan contoh telaga yang tidak mengering sepanjang tahun adalah telaga Towet.

Dampak Kekeringan yang Dirasakan Masyarakat di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul

Kekeringan merupakan  masalah global yang tidak asing lagi bagi manusia. Kekeringan adalah sebuah kejadian di mana periode kering terjadi melebihi kondisi normal dan mengakibatkan masalah yang berkaitan dengan air (Bryant, 2005). Beberapa indikasi kekeringan diantaranya curah hujan kurang dari normal dalam hitungan minggu, bulan, atau tahun. Aliran sungai menurun, Jumlah air yang tersimpan di reservoir semakin sedikit serta kedalaman sumur meningkat ( Nagarajan, 2009 ). Kekeringan akan banyak menimbulkan masalah lain karena air merupakan kebutuhan vital yang harus dipenuhi untuk bertahan hidup. Selain itu, kekeringan akan memberikan berbagai dampak terhadap sektor kehidupan yang lain.
       Berbagai masalah yang telah disebutkan di atas juga dialami masyarakat Panggang, meskipun dengan intensitas yang mungkin berbeda dengan daerah yang lain. Menurunnya curah hujan akan diikuti dengan menurunnya debit mataair serta jumlah air yang tertampung di telaga (Gambar 4). Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat semakin kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air  sehari-hari. Menurunnya ketersediaan air juga berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk yang tinggal di Kecamatan Panggang masih banyak bergantung pada sektor pertanian tadah hujan yang sangat tergantung pada curah hujan.


Gambar 4. Telaga Dendeng Welut yang mulai mengering
(Foto oleh : Fatchurohman, 2012 )

       Menurunnya curah hujan dan ketersediaan air menjadi salah satu penghambat dalam perkembangan lahan pertanian. Kekurangan air menyebabkan tidak dapat menanam komoditas pertanian atau disebut  bero  dalam istilah lokal. Lahan bero ini diolah untuk dapat langsung dimanfaatkan ketika musim penghujan tiba. Ketiadaan hasil pertanian ketika musim kemarau menjadi masalah yang cukup berat dirasakan masyarakat di samping minimnya ketersediaan air.
       Masyarakat di kawasan Karst Gunungsewu Kecamatan Panggang selain bermata pencaharian sebagai petani juga beternak sebagai pekerjaan sampingan. Mereka memelihara ternak berupa sapi atau kambing. Hal ini berarti bahwa selain harus mencukupi kebutuhan air untuk domestik dan pertanian, masyarakat yang memiliki ternak juga membutuhkan air untuk pemeliharaan. Meskipun jumlah air untuk peternakan relatif sedikit, pemenuhan kebutuhan air untuk ternak juga tidak bisa diabaikan. Hal itu diperparah dengan harga ternak yang turun ketika musim kemarau. Harga ternak yang cenderung  menurun diperparah dengan sulitnya mendapatkan pakan ternak dan air. Hasil wawancara menyebutkan bahwa rata-rata dalam sehari masyarakat yang memiliki ternak harus mengeluarkan paling tidak Rp. 10.000,00 hingga Rp. 20.000,00 untuk membeli pakan ternak.
       Berdasarkan hasil penelitian di atas, diketahui bahwa jumlah biaya yang harus dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan air dan  keperluan sehari-hari oleh masyarakat di kawasan karst Kecamatan Panggang sangat banyak. Namun demikian, hal itu tidak diimbangi dengan meningkatnya jumlah pendapatan yang diperoleh. Selain itu, menurunnya produksi pertanian dan harga ternak menjadikan pemasukan yang diterima juga menurun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekeringan memberikan dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat di kawasan karst Kecamatan Panggang.

Strategi Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Kekeringan di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul

       Minimya sumberdaya air alami yang tersedia dan tingginya kebutuhan terhadap sumberdaya air mendorong masyarakat melakukan adaptasi terhadap pemakaian air.  Kekeringan bukan lagi menjadi hal baru bagi masyarakat Kecamatan Panggang.  Hal ini disebabkan karena kekeringan hampir bisa dipastikan datang setiap tahun, sehingga masyarakat telah memiliki persiapan dalam menghadapinya. Berbagai pola perilaku dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya air dilakukan agar masyarakat mampu bertahan di tengah bencana kekeringan.
       Pemanfaatan sumberdaya air alami kini tidak lagi seintensif dulu. Hal ini karena saat ini telah terdapat jaringan pipa PDAM di Kecamatan Panggang. Jaringan PDAM di Kecamatan Panggang ditunjang oleh sistem pegeboran sungai bawah tanah yang terletak di Pantai Ngobaran. Stasiun pemompaan Ngobaran ini mampu  mencakup 3 Kecamatan yaitu Saptosari, Purwosari dan Panggang. Saluran ini mampu mencukupi lebih dari 6.800 sambungan rumah tangga (Suryono, 2006). Biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran air PDAM adalah sebesar Rp. 37.500,00 untuk setiap pemakaian kurang dari atau sama dengan 10 m3 per bulan. Namun demikian, apabila dalam satu bulan satu saluran rumah tangga menghabiskan air lebih dari 10 m3, maka akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 8.000,00/m3. Air dari PDAM lebih banyak digunakan di musim kemarau untuk kebutuhan domestik dan ditampung pada PAH yang sudah tidak menampung air hujan. Penggunaan air dari PDAM ini telah menyebabkan berkurangnya pemanfaatan air dari mataair, telaga dan air hujan.
       Tangki-tangki penyedia air juga menjadi alternatif pemasok air bersih. Tangki-tangki tersebut biasanya mengambil air dari lokasi lain dan menjual pada kisaran harga Rp. 80.000,00 –  Rp. 120.000,00 untuk setiap unit tangki dengan kapasaitas 5000-6000 liter. Tangki tersebut biasanya beroperasi tergantung pada pesanan. Dalam hitungan jam, pesanan air biasanya sudah bisa diantar ke lokasi. Air yag dipesan dari tangki tersebut  menjadi pilihan lain bagi warga yang belum memasang instalasi pipa PDAM. Air dari tangki ditampung dalam PAH yang tidak terisi air hujan pada musim kemarau.
       Selain cara-cara pemenuhan kebutuhan air yang telah dikemukakan di atas, masyarakat juga melakukan strategi dengan membedakan  fungsi pemanfaatan  sumber air dalam memenuhi kebutuhan. Sebagai contoh fungsi telaga kini lebih banyak dimanfaatkan untuk mencuci dan memberi minum ternak, sehingga pengunaan air dari PDAM tidak terlalu boros. Telaga juga dimanfaatkan secara maksimal pada musim penghujan. Ketika ketesediaan air di telaga melimpah, kegiatan pemanfaatan air di telaga lebih intensif sehingga pemakaian air PDAM menurun. Pada musim penghujan masyarakat juga memaksimalkan fungsi PAH dengan menampung air hujan sehingga kebutuhan air mereka terpenuhi secara optimal dan penggunaan air dari PDAM dapat dihemat.
       Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa masyarakat memiliki kecenderungan mengurangi jumlah pemakaian air pada musim kemarau. Kebutuhan air yang tidak terlalu penting seperti mencuci ternak dan kendaraan dikurangi atau bahkan dihilangkan pada musim kemarau. Penggunaan air untuk kebutuhan domestik juga diminimalisir sehingga pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan air tidak terlalu banyak. Kondisi ini terjadi di Dusun Turunan yang melarang pemakaian air yang berasal dari mataair dusun setempat untuk mencuci ternak, menyiram tanaman dan mencuci kendaraan pada musim kemarau.
       Suryanti (2010) menyebutkan bahwa dalam konsep strategi adaptasi ekologis, masyarakat kawasan karst  memiliki modal atau aset, aktivitas, dan akses dalam menanggulangi bencana kekeringan. Aset  yang dimiliki masyarakat meliputi modal manusia, modal sosial, modal natural, modal fiskal dan modal finansial. Salah satu modal natural yang juga dimiliki masyarakat kawasan karst di Kecamatan Panggang adalah keberadaan sumberdaya air. Sumberdaya air yang ada di Kecamatan Panggang diantaranya adalah telaga dan mataair.
       Salah satu adaptasi ekologis terhadap kekeringan yang ada di Kecamatan Panggang adalah dengan penerapan beberapa peraturan terkait pemanfaatan sumberdaya air. Tingginya nilai dan fungsi sumberdaya air menjadikan masyarakat melakukan upaya pemeliharaan agar sumberdaya air yang ada tetap terjaga. Peraturan pemeliharaan sumberdaya air biasanya dilakukan melalui pendekatan kearifan lokal. Peraturan berbasis kearifan lokal ini cenderung lebih efektif diterapkan pada masyarakat tradisional kawasan karst yang masih memegang nilai-nilai kebudayaan lokal.
      
Tabel 1. Contoh adaptasi terhadap kekeringan

No
Contoh Adaptasi
Lokasi
1
Pemasangan Saluran rumah tangga dari PDAM
Sebagian besar Kecamatan Panggang.
2
Menggunakan telaga untuk mencuci dan memberi minum ternak sehingga menghemat pengeluaran untuk air dari PDAM
Sebagian besar Kecamatan Panggang.
3
Larangan penggunaan air untuk mencuci motor dan ternak
Dusun Turunan.
4
Perjalanan panjang ke telaga yang masih dapat dimanfaatkan (terjadi di Desa yang tidak teraliri PDAM), kebanyakan mereka memanfaatkan telaga yang masih dapat digunakan
Telaga Towet, Girisekar.
5
Pergiliran pemanfaatan air dari mataair
Dusun Turunan.
6
tidak boleh mencuci beras di telaga, dilarang memandikan ternak di telaga
Telaga Towet, Girisekar.
7
Memanfaatkan telaga untuk budidaya ikan saat sudah ada jaringan pipa PDAM
Telaga Dendeng Welut.
8
Upacara baretan dan membuat kenduri serta kerja bakti masal membersihkan kawasan mataair
Dusun Turunan.
Sumber : Pengumpulan data di lapangan

       Beberapa contoh kearifan lokal yang ada diantaranya adalah keberadaan tradisi atau upacara adat untuk menghormati sumber air seperti telaga atau mataair. Upacara adat yang dilakukan terdapat dalam berbagai bentuk seperti kenduri, kirab, atau bahkan acara wayangan. Upacara tersebut dilakukan agar keberadaan sumber air tetap asri dan penduduk sekitarnya dilimpahi berkah serta terhindar dari marabahaya. Salah satu contoh pelaksanaan upacara wayangan adalah di Dusun Turunan, Desa Girisuko. Wayangan dilakukan 3 tahun sekali sebagai wujud rasa syukur dan penghormatan terhadap kesakralan mataair.
       Strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi kekeringan dilakukan berdasarkan pengalaman puluhan tahun dan turun temurun dari orang tua mereka. Beberapa cara adaptasi masih dipengaruhi oleh tradisi yang kuat. Kontrol yang berasal dari budaya dan kearifan lokal akan memberikan pengaruh yang lebih kuat dan bertahan lama daripada peraturan modern. Cerita mengenai keangkeran lokasi sumber air misalnya, akan membuat orang takut untuk berbuat sembarangan di lokasi tersebut. Keberadaan pohon-pohon  besar yang dipercaya memiliki makhluk penunggu menyebabkan orang segan untuk mendekat (gambar 5). Melalui kontrol budaya lokal tersebut pemeliharaan terhadap sumberdaya air terhadap karusakan  akan lebih mudah.

Gambar 5. Keberadaan pohon besar di Mataair Sanglor.
(Foto oleh : Fatchurohman, 2012)

       Secara garis besar, masyarakat yang tinggal di kawasan Karst Gunungsewu, terutama Kecamatan Panggang telah memiliki berbagai strategi adaptasi dalam menghadapai bencana kekeringan. Berbagai strategi tersebut dilakukan berdasarkan pola perilaku yang telah terbentuk secara turun-temurun. Kondisi tersebut muncul sebagai suatu respon terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya (Hadi, 2009).

      


KESIMPULAN

1)     Potensi sumberdaya air yang ada di Kecamatan Panggang meliputi 11 mataair dan 21 telaga yang tersebar di beberapa lokasi.
2)     Dampak kekeringan yang dirasakan masyarakat Kecamatan Panggang meliputi berkurangnya sumberdaya air akibat menurunnya debit mataair dan jumlah air di telaga, menurunnya produksi pertanian, menurunnya pendapatan, sulitnya mencari pakan ternak, serta rendahnya harga ternak.
3)     Strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi bencana kekeringan antara lain pengurangan jumlah pemakaian air pada musim kemarau, pemasangan saluran rumah tangga dari PDAM, optimalisai pemanfaatan PAH, telaga, dan mataair pada musim penghujan, penggunaan telaga untuk mencuci dan memandikan ternak, serta berbagai bentuk larangan yang didasarkan kearifan lokal untuk menjaga kelestarian sumber air.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ford, D.C. dan P.W. William. 2007. Karst Geomorphology and Hydrology. Chicester : John Willey and Sons.
Hadi, S.P. 2009. Manusia dan Lingkungan. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Haryono, E. dan Adji, T.N. 2004. Pengantar Geomorfologi dan Hidrologi Karst. Yogyakarta : Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi UGM.
Haryono, E. dan Day, M., 2004. Landform differentiation within the Gunungkidul Kegel Karst, Java, Indonesia. Journal of Cave and Karst Studies, v.66 no.2. p.62-69.
Haryono, E., 2001. Nilai Hidrologis bukit Karst. Makalah Seminar Nasional, Eko-Hidrolik, 28-29 Maret 2001. Jurusan Teknik Sipil, UGM.
Hidayat, B. 2011. Bencana Mengancam Indonesia. Laporan Khusus Kompas. Jakarta : Kompas.
Irianto, G 2003. Kekeringan Lebih Berbahaya daripada Banjir. Surat Kabar Harian Kompas, 21 Agustus 2003.
Mangunsukardjo, K. 1999. Kajian Geomorfologi untuk Perencanaan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Oyo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia,Th. 13 No. 23.Maret 1999.  Hal : 1-11.
Nagarajan, R. 2009. Drought Assessment. New Delhi : Springer.
Suryanti, E.D.; Sudibyakto, dan Baiquni, M. 2010. Strategi Adaptasi Ekologis Masyarakat di Kawasan Karst Gunungsewu dalam Mengatas Bencana Kekeringan. Jurnal Kebencanaan Indonesia, Vol. 2 No. 3. Hal: 658-673
Suryono, T. 2006. Pengelolaan Sumber Air Bawah Tanah Sungai Bribin. Gunung Sewu Indonesian Cave and Karst Journal,2/1(2006): 37-52.
Suyono. 2007. Identifikasi Daerah Rentan Kekeringan . Laporan Penelitian, Nomor: UGM/GE/ 30f/KS/M/04/05
White, W.B., 1988. Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains. New York : Oxford University Press.