Ahmad
Cahyadi 1), Dhandun Wacano2),
Hendy Fatchurohman3),
dan Muhammad Abdul Azis Ramdani4)
1), 2)Mahasiswa Program Beasiswa Unggulan BPKLN KEMDIKBUD RI pada Magister
Perencaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS), Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
3), 4) Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
1), 2),
3),
4) Karst Student Forum (KSF) Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Kawasan karst adalah kawasan yang
terbentuk oleh proses pelarutan batuan karbonat sehingga menyebabkan kondisi
kering di permukaan dan kaya air di bawah permukaan. Hal tersebut menyebabkan
sumber air permukaan yang langka seperti telaga dan mataair menjadi sangat
penting. Namun demikian, saat ini kawasan karst yang terdapat di Kabupaten
Gunungkidul hampir semua telah terjangkau jaringan pipa air bersih. Hal ini
tentunya akan menyebabkan ketergantungan terhadap telaga dan mataair menjadi
berkurang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan telaga
dalam pemenuhan kebutuhan air bersih di kawasan karst Kecamatan Semanu Kabupaten
Gunungkidul pasca pembangunan jaringan pipa air bersih. Metode yang dilakukan
adalah dengan melakukan wawancara mendalam (In-depth
interviews) pada 30 blok permukiman yang terletak di kecamatan Semanu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini telaga tidak lagi berfungsi untuk
sumber pemenuhan air minum. Namun demikian telaga masih digunakan untuk
mencuci, memandikan ternak, sumber air minum untuk ternak, serta tempat
budidaya ikan yang dikelola oleh masyarakat secara bersama-sama.
Kata kunci: karst, telaga, kebutuhan air
Abstract
Karst region is a region formed by the dissolution
of carbonate rocks, causing dry conditions in surface and subsurface water rich. This causes a rare source of surface water such as logva and springs are very important. However, currently karst areas in Gunungkidul Regency almost all have affordable water supply network. This will
naturally lead to dependence
on the lake and the springs to be
reduced. The purpose of this study was to
determine the role of logva in the
fulfilment of water needs in Gunungsewu karst area, Semanu sub District,
Gunungkidul Regency in the post-development of water supply network. The method is to do with in-depth interviews in 30 residential blocks located in the
Semanu sub District. The results
showed that the current logva is no
longer working for the
fulfillment of drinking water sources. However, the logva is still used for washing, bathing the cattle, the source
of drinking water for livestock, as well as for fish
farming is managed by the community together.
Keywords: karst, logva, water needs
PENDAHULUAN
Milanovic (2004) menyebutkan
bahwa karst adalah bentuklahan yang dominan terbentuk oleh pekarutan batuan
gamping, dolomit, marmer, gipsum, dan batuan garam. Kawasan ini diperkirakan
menutup kurang lebih 25% dari permukaan bumi (Milanovic, 2004) dan 20% dari
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Balasz, 1968). Proses pelarutan yang terjadi
menyebabkan air permukaan dengan cepat meresap menuju sistem air bawah tanah
akibat keberadaan diaklas-diaklas (retakan-retakan) serta lubang-lubang yang
berukuran kecil/diffuse, sedang/fissure atau berukuran besar/conduit (White, 1988). Hal ini
menyebabkan kondisi di permukaan tanah terkesan gersang berbatu serta banyak
air di bawah permukaan (Cahyadi, 2010). Langkanya air permukaan menyebabkan
sumber air dipermukaan berupa danau doline/telaga (logva) serta mata air di kawasan karst menjadi sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan air penduduk (Santosa, 2007).
Kawasan
karst Gunungsewu adalah salah satu kawasan karst di Indonesia yang terkenal
karena telah ditetapkan
sebagai world natural heritage pada Tahun 2006. Sebagian kawasan ini masuk ke
dalam wilayah administrasi Kabupaten Gunungkidul, yang meliputi Kecamatan
Ponjong, Wonosari, Rongkop, Girisubo, Tepus, Tanjungsari, Semanu, Panggang,
Paliyan, Playen dan Purwosari. Hampir semua permukiman di kawasan karst di
kabupaten Gunungkidul saat ini telah dijangkau oleh jaringan pipa PDAM yang
memanfaatkan sumber air dari sungai bawah tanah (Suryono, 2006). Kondisi ini tentunya akan menyebabkan
perubahan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air yang lain
seperti telaga dan mata air di kawasan karst. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui peran telaga di Kawasan Karst Gunungsewu dalam pemenuhan kebutuhan air pasca
pembangunan jaringan air bersih oleh pemerintah. Namun demikian karena
keterbatasan waktu dan biaya, maka penelitian ini hanya mengambil studi kasus
di kawasan karst yang terletak di Kecamatan Semanu ,Kabupaten Gunungkidul. Hal ini karena
tiga dari lima sumber air yang digunakan untuk sumber air PDAM terletak di
Kecamatan Semanu, sehingga kemungkinan dengan jarak yang dekat ini seluruh
wilayah dari kecamatan ini telah terakses jaringan pipa PDAM.
METODE
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan wawancara mendalam (in-depth interviews) pada setiap blok permukiman yang didasarkan
pada peta penggunaan lahan yang diekstrak dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala
1: 25.000 terbitan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(BAKOSURTANAL). Hal ini didasari kenyataan bahwa pola permukiman yang terdapat
di kawasan karst adalah mengelompok (Marfai, 2011). Jumlah blok permukiman yang
terdapat di wilayah kajian adalah 30, sehingga jumlah responden yang digunakan
dalam penelitian ini berjumlah 30 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sumber air bersih yang
didistribusikan oleh PDAM Kabupaten Gunungkidul bersumber dari lima sumber
utama. Kelima sumber air yang digunakan adalah Bribin 1, Bribin 2 (Sindon),
Seropan, Baron dan Ngobaran. Keseleruhan sumber air yang digunakan berasal dari
aliran sungai bawah tanah. Hasil wawancara mendalam di lokasi penelitian
menunjukkan bahwa lokasi penelitian termasuk dalam jaringan air bersih yang
berasal dari Bribin 1 dan 2 serta Seropan. Hal yang sama dikemukakan pula oleh
Suryono (2006) seperti ditampilkan pada Tabel 1. Terbatasnya jumlah aliran air yang mampu
didistribusikan menyebabkan aliran air dari PDAM dilakukan secara bergilir, di
mana wilayah yang sama akan teraliri dua hari dalam seminggu. Kondisi ini
menyebabkan masyarakat sebanyak mungkin mengalirkan air dari PDAM pada saat air
PDAM mengalir sampai tampungan air berupa penampungan air hujan (PAH) penuh.
Tabel 1. Sistem Pelayanan
Air Bersih PDAM Gunungkidul
Sistem
|
Daerah Pelayanan
|
Jumlah Sambungan Hidran Umum
|
Jumlah Sambungan Saluran Rumah Tangga
|
Jumlah Dusun dan Desa Yang Terlayani
|
Bribin 1 dan 2
|
Kecamatan Semanu, Tepus, Rongkop, dan Girisubo
|
510
|
7.387
|
134 dusun;
21 desa
|
Seropan
|
Kecamatan Semanu, Ponjong, Karangmojo, dan
Wonosari
|
115
|
7.292
|
134 dusun;
21 desa
|
Baron
|
Kecamatan Tanjungsari
|
57
|
874
|
32 dusun;
4 desa
|
Ngobaran
|
Kecamatan Saptosari, Purwosari dan Panggang
|
180
|
6.811
|
152 dusun;
40 desa
|
Sumber: Suryono (2006)
Hasil wawancara mendalam
menunjukkan bahwa pada masa lalu ketika jaringan air bersih belum ada,
masyarakat menggunakan telaga untuk memenuhi kebutuhan air minum, memasak,
mencuci, memandikan ternak serta untuk sumber air bagi ternak. Hal ini
dilaporkan juga oleh Worosuprojo (1997) dan Santosa (2007) yang menyebutkan
bahwa telaga memiliki peranan yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan air
di kawasan karst Kabupaten Gunungkidul,
khususnya pada saat musim kemarau. Kondisi ini disebabkan karena kebutuhan air
pada musim dipenuhi dari air hujan. Pemanenan air hujan dilakukan dengan mengalirkan
air hujan yang jatuh pada atap rumah ke tempat penampungan air hujan (PAH).
Meskipun tidak lagi digunakan sebagai sumber air
minum, masyarakat di kawasan karst Kecamatan Semanu menganggap keberadaan
telaga masih menjadi bagian penting dalam pemenuhan kebutuhan air. Hal ini karena saat ini telaga masih
digunakan untuk mencuci, memandikan ternak, sumber air minum untuk ternak,
serta tempat budidaya ikan yang dikelola oleh masyarakat secara bersama-sama
(Gambar 1). Selain itu, persepsi tentang telaga sebagai bagian penting dalam pemenuhan kebutuhan
air di kawasan karst dapat
dilihat dari perilaku masyarakat dalam menjaga kondisi telaga seperti adanya
larangan menebang pohon di sekitar telaga dan penghijauan wilayah di sekitar
telaga. Namun demikian, kondisi beberapa telaga yang telah mati dan tidak lagi
tergenang air (hanya tergenang dalam waktu sangat singkat setelah hujan atau
bahkan menjadi tegalan) akibat pendangkalan menyebabkan masyarakat
menjadikannya tanah kas dusun yang di sewakan untuk kegiatan pertanian. Setiap
awal tahun tanam, dilakukan lelang bagi masyarakat yang berminat untuk mengolah
tanah bekas telaga. Pemenang lelang dapat mengolah lahan bekas telaga selama
satu tahun. Kondisi ini terjadi misalnya di telaga Ploso, Dusun Ploso, Desa Dadapayu.
Gambar 2.
Pemanfaatan Telaga Nangsri untuk Memandikan Ternak, Mencuci dan Mandi
Pemanfaatan telaga yang lain untuk budidaya
ikan. Budidaya ikan di telaga biasanya dikelola oleh organisasi masyarakat.
Bibit ikan disebarkan dan hasil panen nantinya diusahakan untuk kepentingan
masyarakat. Masa panen dimanfaatkan penduduk untuk membuka pemancingan.
Pemancingan diadakan dengan sistem harian. Pengunjung membayar sejumlah uang
dan diperbolehkan memancing hingga waktu yang ditentukan berapapun ikan yang
diperoleh. Sistem seperti ini memberikan keuntungan yang cukup besar.
Berdasarkan keterangan warga, penghasilan dari pemancingan di telaga dapat
mencapai 9-15 juta rupiah per tahun. Dana hasil pengelolaan pemancingan
tersebut digunakan untuk kas dan kemajuan desa. Sistem pengelolaan
telaga seperti ini diantaranya diterapkan di Telaga Nangsri, Jonge, Jetis, Mendak
dan beberapa telaga lainnya. Hal itu menjadikan fungsi telaga masih penting di
mata masyarakat meskipun tidak lagi untuk pemenuhan kebutuhan air bersih.
Hasil
wawancara mendalam mengungkap fakta bahwa banyak telaga di kawasan karst
Kecamatan Semanu telah mengalami kerusakan. Kerusakan terjadi akibat
pendangkalan dan terbukanya sistem saluran bawah tanah akibat pengerukan saat
dilakukan pembangunan talut. Telaga Pego yang terletak di Dusun Gemulung, Desa Ngeposari misalnya, mengalami pendangkalan
yang hebat sejak dilakukannya penebangan kayu secara ilegal dan pengolahan
tegalan pada perbukitan di sekitarnya. Kondisi ini mulai terjadi pada Tahun
1980-an. Selain itu, beberapa responsden menggungkapkan bahwa banyak telaga
yang menjadi kering pada saat musim kemarau sejak dilakukan pembangunan talut
oleh pemerintah (beberapa menyebutkan dilakukan melalui program ABRI masuk
desa) yang banyak terjadi pada Tahun 1980-an sampai awal 1990-an. Kondisi ini
misalnya terjadi di Telaga Bulu,
Dusun Bulu serta Telaga Plebengan di Dusun Plebengan,
Desa Candirejo (Gambar 2). Hal ini terjadi akibat proses pembangunan
yang dilakukan dengan pengerukan tanah di dalam telaga telah membuka saluran
atau lubang yang menghubungkan dengan sistem sungai bawah tanah. Lubang tersebut awalnya tertutup oleh
sedimen lempung yang tidak tembus air (impermeable),
namun karena pengerukan makan lubang atau lorong tersebut terbuka di bagian
bawah atau samping telaga. Kondisi tersebut menyebabkan kapasitas telaga berkurang
serta resapan ke dalam sistem sungai bawah tanah menjadi lebih banyak sehingga
pada musim kemarau telaga menjadi kering.
Kerusakan daerah resapan telaga juga menyebabkan telaga lebih cepat
kering. Bukit-bukit karst yang ada di sekitar telaga berfungsi sebagai daerah resapan yang akan
memberi suplai air ke telaga. Penambangan batugamping akan memberi dampak buruk
terhadap kemampuan bukit meresapkan air, sehingga jumlah air yang diresapkan
juga berkurang. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui fungsi dari kawasan
bukit-bukit gamping yang ada di sekitar telaga. Belum ada upaya konservasi yang
serius, karena bukit memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Bukit biasanya ditanami pohon jati dan
diperjualbelikan. Beberapa bukit bahkan ada yang dijual untuk dijadikan lahan
tambang batugamping. Kerusakan bukit ini juga akna berpengaruh terhadap suplai
air ke telaga.
Gambar 2.
Telaga Plebengan Lor yang Selalu Kering saat Musim Kemarau Pasca di Talud
PENUTUP
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa telaga di kawasan karst Kecamatan Semanu Kabupaten Gunungkidul saat ini
sudah tidak lagi digunakan sebagai sumber air minum. Namun demikian telaga
masih digunakan untuk mencuci, memandikan ternak, menyirami tanaman, budidaya
ikan air tawar dan sumber air bagi minum ternak. Hal ini berarti bahwa pasca
pembangunan jaringan air bersih oleh PDAM telaga masih memberikan kontribusi
yang besar bagi pemenuhan kebutuhan air di kawasan karst Kecamatan Semanu
Kabupaten Gunungkidul, meskipun perannya sudah tidak sebesar masa lalu.
Saran
Pengelolaan telaga hendaknya
tetap terus dilakukan dan diupayakan karena telaga di kawasan karst masih
berperan besar dalam pemenuhan kebutuhan air penduduk. Namun demikian
diperlukan suatu kajian tentang pengelolaan telaga yang berkelanjutan. Keluhan
masyarakat terkait dengan kerusakan sejumlah telaga pasca pengelolaan secara
teknik konvensional hendaknya memberikan suatu pembelajaran bagi pengelolaan
telaga di masa mendatang.
Daftar Pustaka
Balasz. “Karst Region in Indonesia.” Karszt-Es
Barkangkutatas-Volume V. Budapest. 1968.
Cahyadi, Ahmad. “Pengelolaan
Kawasan Karst dan Peranannya dalam
Siklus Karbon di Indonesia.” Proseeding Seminar Nasional Perubahan Iklim di Indonesia. Sekolah Pasca Sarjana UGM
Yogyakarta, 2010.
Marfai, Muh Aris. Pengantar
Pemodelan Geografi. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFGE)
Universitas Gadjah Mada, 2011.
Milanovic, Petar T. Water Resources Engineering in
Karst. Boca Raton, Florida: CRC Press, 2004.
Santosa, Langgeng Wahyu. “Kerusakan Telaga Dolin dan Faktor-Faktornya di Wilayah Perbukitan Karst Kabupaten Gunungkidul.” Jurnal Kebencanaan Indonesia, 1/3(2007): 176-193.
Suryono, Thomas. “Pengelolaan Sumber Air Bawah Tanah
Sungai Bribin.”
Gunung Sewu Indonesian Cave and Karst Journal, 2/1(2006): 37-52.
White,
William B. Geomorphology and Hydrology of Karst Terrains. New York: Oxford University Press, 1988.
Worosuprojo, Suratrnan. "Kajian Ekosistem Karst di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istirnewa Yogyakarta."
Laporan
Penelitian, Fakultas Geografi UGM Yogyakarta dan
Biro
Bina Lingkungan Hidup Propinsi Daerah
Istirnewa Yogyakarta (1997).