STRATEGI ADAPTASI
MASYARAKAT
TERHADAP BENCANA
KEKERINGAN
DI KAWASAN KARST
KECAMATAN PANGGANG, GUNUNGKIDUL
Hendy Fatchurohman1 dan
Ahmad Cahyadi2
1,2Karst Studied Forum (KSF) Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
1Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada
2Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan
Daerah Aliran Sungai (MPPDAS)
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
INTISARI
Curah
hujan yang cukup tinggi di Kecamatan Panggang (1875-2125 mm/tahun) tidak
menjamin daerah tersebut berkecukupan dalam hal ketersediaan sumberdaya air untuk memenuhi
kebutruhan air bersih bagi penduduknya.
Bentanglahan karst yang berkembangdi wilayah tersebut menyebabkan kondisi
permukaan kering. Kekeringan litologis ini menyebabkan masyarakat yang tinggal
di dalamnya selalu mengalami bencana kekeringan setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk; (1) Mengidentifikasi potensi
sumberdaya air di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul, (2) Mengidentifikasi dampak kekeringan yang dirasakan masyarakat, dan (3) Mengidentifikasi strategi adapatasi masyarakat terhadap
bencana kekeringan di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah survei wawancara dengan random sampling
di setiap blok permukiman dan in-depth interview, di mana setiap blok
permukiman diambil delapan responden secara acak.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya air alami
yang dapat dimanfaatkan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih berasal di Kecamatan Panggang seperti telaga, mataair dan air hujan. Masyarakat juga memanfaatkan sumber air lain dari saluran PDAM yang berasal dari Sungai Bawah Tanah Ngobaran dan
tangki penyedia air bersih yang mengambil air dari
mataair. Dampak kekeringan yang dirasakan masyarakat meliputi menurunnya jumlah produksi pertanian, dan
kesulitan pemenuhan kebutuhan air akibat tidak adanya
hujan, mengeringnya tel;aga dan menurunnya atau matinya debit dari mataair. Berbagai strategi adaptasi dilakukan dalam rangka bertahan menghadapi
bencana kekeringan seperti optimalisasi fungsi telaga dan mataair pada musim
penghujan. Pengurangan penggunaan air pada musim kemarau dan beberapa peraturan
yang didasari kearifan lokal diterapkan untuk menjaga kelestarian sumber air.
Kata Kunci : Karst, Kekeringan, Sumberdaya
Air, Adaptasi
PENDAHULUAN
Kawasan karst adalah kawasan yang
terbentuk oleh kombinasi batuan dengan tingkat kelarutan tinggi serta
porositas sekunder yang berkembang baik ( Ford and Williams, 2007).
Berkembangnya porositas sekunder tersebut menyebabkan air akan langsung masuk
ke sistem aliran bawah tanah. Hal ini menyebabkan kondisi di permukaan cenderung kering
dan kekurangan air. Namun
demikian, minimnya air permukaan di
kawasan karst sebenarnya diikuti oleh besarnya jumlah air yang tersimpan di
bawah tanah.
Kabupaten Gunungkidul terkenal sebagai salah satu kabupaten di Provinsi
DIY yang selalu dilanda bencana
kekeringan dan kekurangan air
pada musim kemarau. Kekurangan air tersebut bukanlah kekeringan secara
meteorologis karena wilayah Kabupaten Gunungkidul memiliki curah hujan rata-rata
tahunan yang cukup tinggi. Kondisi geologis kawasan karst dengan porositas
sekundernya menyebabkan air yang ada di permukaan langsung masuk ke dalam
sistem aliran bawah tanah .
Sebanyak 10 Kecamatan atau lebih dari 170 pedukuhan di Kabupaten
Gunungkidul mengalami kekeringan pada medio Juli-Oktober 2012 (www.
antaranews.com, 30 Juli 2012). Kekurangan air pada musim kemarau bukan menjadi
hal baru bagi masyarakat yang tinggal di kawasan karst Gunungsewu Kabupaten Gunungkidul. Setiap tahun bencana kekeringan sudah
menjadi hal yang pasti akan dihadapi warga Gunungkidul. Kekeringan bukan lagi
menjadi hal yang luar biasa meskipun materi yang harus dikeluarkan setiap tahun
untuk pemenuhan kebutuhan air sangat besar.
Air yang merupakan sumber utama kehidupan tentunya harus diupayakan untuk
memenuhi kebutuhan. Kekurangan air merupakan masalah yang cukup sakral dalam
kehidupan. Keharusan untuk terus bertahan hidup menyebabkan
masyarakat melakukan beberapa perilaku adaptasi terhadap lingkungan. Adaptasi
dalam pemenuhan kebutuhan air ini berkembang dari waktu ke waktu. Pola adaptasi ini perlu dipahami dalam rangka
untuk merencanakan pengurangan risiko bencana kekeringan di kawasan karst serta
sebagai suatu model yang mungkin dapat diterapkan untuk wilayah lain dengan
karakteristik yang sama atau hampir sama.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi potensi sumberdaya air di
Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul,
2.
Mengidentifikasi dampak kekeringan yang dirasakan masyarakat,
3.
Mengidentifikasi strategi adapatasi masyarakat terhadap bencana kekeringan
di Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul.
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu
bentuklahan yang dominan di Kabupaten Gunungkidul adalah bentuklahan karst. Bentuklahan ini
berkembang luas di bagian Selatan. Ford dan Williams (2007) menyebutkan bahwa karst merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan medan dengan
kondisi hidrologi yang khas dan berkembang pada batuan yang mudah larut. Karst
tebentuk oleh adanya kombinasi batuan yang
mudah larut dan perkembangan porositas sekunder. Perkembangan porositas
sekunder dan aliran bawah tanah cenderung menyebabkan kondisi permukaan kering
dan gersang.
Kekeringan adalah kondisi
di mana periode kering terjadi melebihi
normal, curah hujan menurun, aliran sungai mengecil, serta air yang tertampung
di danau atau waduk semakin sedikit (Nagarajan, 2009 ). Suyono (2007)
menyebutkan bahwa kekeringan dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya :
1.
Kekeringan
hidrometeorologis:
·
Bila P < Eta
·
Bulan kering: P < 100 mm/bln (Asdak,
1995)
·
Bulan kering: P < 60 mm/bln (Asdak, 1995)
2.
Kekeringan litologis:
·
Lapisan batuan tidak mampu
menyimpan dan melepaskan air (Aquifuge)
3.
Kekeringan Aktual:
·
Kebutuhan air >
ketersediaan air
Terdapat pula beberapa
faktor lain yang berpengaruh terhadap kekeringan, diantaranya :
a) Penyimpangan musim (jumlah hujan setahun rendah dan tidak merata sepanjang
tahun)
b)
Faktor litologis (batuan
tidak mampu menyimpan dan melepas air)
c)
Faktor topografis (air
mengalir kearah yang rendah, air dijumpai di cekungan, lereng bawah dan
dataran)
d) Kebutuhan air melampaui ketersediaan airPenyimpangan musim (jumlah hujan setahun rendah
dan tidak merata sepanjang tahun)
Kekeringan di daerah karst lebih dipengaruhi
oleh faktor litologis. Batuan induk berupa batuan karbonat menyebabkan
terbentuknya rekahan yang mengontrol berkembangnya sistem hidrologis bawah
tanah. Curah hujan yang turun secara cepat langsung masuk ke sistem bawah tanah
melalui ponor-ponor yang ada sehingga kondisi permukaan minim akan sumberdaya
air.
Suryanti, dkk. (2010)
melakukan penelitian mengenai strategi
adaptasi ekologis masyarakat kawasan karst Gunungsewu dalam menghadapi bencana
kekeringan dengan mengambil lokasi studi kasus di Kecamatan Tepus. Penelitian
ini memiliki tujuan mengidentifikasi karakteristik wilayah, sumberdaya alam, dan
masyarakat yang ada di Kawasan Karst Gunungsewu. Tujuan lain adalah mengidentifikasi
dampak kekeringan terhadap penghidupan masyarakat dan menentukan strategi
adaptasi yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi kekeringan.
Irianto (2003)
menyebutkan bahwa bencana kekeringan lebih berbahaya dari banjir yang mampu
menimbulkan kerugian sangat besar. Irianto (2003) menambahkan bahwa bencana kekeringan yang melanda berkepanjangan bahkan mampu
meruntuhkan pilar kekuasaan atau mengganggu kondisi
politik suatu wilayah. Kondisi tersebut pernah terjadi pada
tahun 1965 dan 1997 ketika runtuhnya masa pemerintahan orde lama dan orde baru.
Berdasarkan hal tersebut, maka semakin
jelas bahwa kekeringan merupakan bencana
yang tidak bisa dikesampingkan. Penanganan dan berbagai upaya penanggulangan
harus dilakukan agar risiko yang mungkin terjadi dapat
dikurangi (Hidayat, 2011).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah survei wawancara dengan random sampling di setiap blok permukiman dan in-depth interview, di mana setiap blok permukiman diambil delapan
responden secara acak. Survei
dilakukan di Kecamatan panggang Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Sumberdaya Air di
Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul
Kecamatan Panggang adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Gunungkidul yang terletak di bagian barat daya Kabupaten
Gunungkidul. Kecamatan Panggang berbatasan
langsung dengan Kecamatan Saptosari di sebelah timur, Kecamatan Purwosari di sebelah barat,
Kecamatan Imogiri dan paliyan di sebelah
utara, serta Samudera Hindia di sebelah selatan. Secara geologis,
Kecamatan Panggang masuk pada Formasi Wonosari (gambar 2). Mangunsukardjo
(1999) menyebutkan bahwa formasi
wonosari tersusun atas batugamping kalkarenit. Bahan dasar batugamping merupakan salah satu
faktor pengontrol terbentuknya bentuklahan karst.
Gambar 2.
Peta Geologi Kecamatan Panggang
Sebagian
besar batuan penyusun bentuklahan karst di Indonesia adalah batuan karbonat. Haryono
dan Adji (2004) menyebutkan bahawa terdapat 2 faktor utama yang berpengaruh
terhadap proses karstifikasi yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong.
Faktor pengontrol adalah faktor yang menentukan keberlangsungan terjadinya
karstifikasi sedangkan faktor pendorong berperan dalam kecepatan dan
kesempurnaan karstifikasi. Lebih jauh dijelaskan bahwa faktor pengontrol
terdiri dari tingkat kelarutan batuan, ketebalan, dan perkembangan rekahan batuan. Besarnya curah
hujan (>2500 mm/tahun), serta ketinggian batuan terekspos juga menjadi salah
satu faktor pengotrol. Faktor pendorong terdiri dari temperatur dan tutupan
hutan. Kedua faktor tersebut akan sangat menentukan dalam perkembangan
bentuklahan karst.
Perkembangan
bentuklahan karst di Kecamatan Panggang
membentuk pola karst poligonal dengan karakter Batugamping terumbu yang
keras dan dangkal, karren dan rongga pelarutan intensif, dan dijumpai bnyak
mataair (Haryono, 2001; Haryono dan Day, 2005). Perkembangan bentuklahan karst
tersebut menyebabkan kondisi permukaan kering karena air permukaan langsung masuk ke
dalam sistem air bawah tanah.
Nagarajan
(2009) menyebutkan bahwa satu per tiga dari populasi dunia mengalami kekurangan
air dan 1,1 milyar manusia mengalami kesulitan dalam mengakses
air minum yang aman. Kekeringan juga menjadi masalah utama yang dirasakan
masyarakat kawasan karst Gunungsewu termasuk masyarakat Kecamatan Panggang.
Kekeringan yang terjadi di kawasan karst gunugsewu lebih disebabkan oleh
kondisi geologis Formasi Wonosari yang memungkinkan terbentuknya bentuklahan
karst.
Minimnya
sumber air di permukaan menyebabkan masyarakat selalu mengalami bencana kekeringan pada saat
kemarau. Sumber air permukaan alami
yang bisa dimanfaatkan hanyalah berupa telaga mataair dan air hujan yang ditampung dengan
penampungan air hujan (PAH). Meskipun demikian, sebagian
besar telaga dan mataair di Kecamatan Panggang tidak dapat dimanfaatkan sepanjang tahun karena
ketersediaan airnya menurun atau bahkan kering pada musim kemarau. Keterbatasan
tersebut menyebabkan masyarakat mencari alternatif sumber air yang lain. Salah
satu cara untuk memenuhi kebutuhan air adalah dengan memanfaatkan sisa dari rain water harvesting atau pemanenan air hujan dalam PAH, membeli air yang
didistribusikan dengan truk tangki, memasang PDAM dan sebagian lagi memilih
mengambil air dari mataair dan telaga yang masih dapat dimanfaatkan.
Secara meteorologis sebenarnya kawasan Kecamatan Panggang memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan tahunan Kecamatan Panggang berkisar antara
1875-2125 mm/tahun (Gambar 3). Tingginya curah hujan tersebut tidak bisa
dimanfaatkan dalam bentuk simpanan airtanah dangkal karena perkembangan
porositas sekunder bentuklahan karst di Kecamatan Panggang. Masyarakat biasa
memanfaatkan air hujan yang jatuh dengan menampungnya dan menggunakannya
sebagai sarana pemenuhan kebutuhan air sehari-hari. Namun demikian, ukuran PAH yang hanya 3 m3
sampai dengan 9 m3 belum dapat menjamin ketersediaan air pada musim
kemarau.
Gambar 3.
Peta Hujan Wilayah Kecamatan Panggang
Kebutuhan air masyarakat saat ini sebagian sudah dapat dipenuhi dari keberadaan jarigan pipa
PDAM dan dropping air dari tangki –
tangki air yang selalu beroperasi. Melalui pipa PDAM dan distribusi air dengan
menggunakan tangki, sebenarnya masyarakat lebih mudah mendapatkan akses terhadap
air bersih layak konsumsi. Namun demikian, jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membeli air cukup besar.
Sumber air alami yang dapat diakses masyarakat secara ekonomis selain
air hujan hanyalah telaga dan mataair.
Tabel 1. Mataair di Kecamatan Panggang
No.
|
Nama
Mataair
|
Desa
|
Debit (m3/thn)
|
Sifat
Aliran
|
1.
|
Lekumet
|
Girisuko
|
220752
|
Menahun
|
2.
|
Ngrenggong
|
Girisuko
|
63072
|
Sesaat
|
3.
|
Donoyo
|
Girisuko
|
63072
|
Sesaat
|
4.
|
Bibal
|
Girisuko
|
12614.4
|
Menahun
|
5.
|
Watu bengkah
|
Giriwungu
|
126144
|
Menahun
|
6.
|
Benjit
|
Giriwungu
|
102492
|
Menahun
|
7.
|
Grigak
|
Girikarto
|
110376
|
Menahun
|
8.
|
Sanglor 1
|
Girisuko
|
630720
|
Menahun
|
9.
|
Sanglor 2
|
Girisuko
|
946080
|
Menahun
|
10.
|
Pacar 2
|
Girisuko
|
1261440
|
Menahun
|
11.
|
Njumbleng
|
Giriharjo
|
315360
|
Sesaat
|
Sumber: Sudarmadji dkk, 2012
Tabel 2. Telaga di Kecamatan Panggang
No.
|
Nama Telaga
|
Koordinat UTM
|
Administrasi
|
||
X
|
Y
|
Dusun/Dukuh
|
Desa/Kelurahan
|
||
1
|
Towet
|
441393
|
9111963
|
Blimbing
|
Girisekar
|
2
|
Pakem
|
440647
|
9110985
|
Bali
|
Girisekar
|
3
|
Sapoal
|
439795
|
9109915
|
Warak
|
Girisekar
|
4
|
Ngurik
|
439157
|
9111577
|
Warno
|
Girisekar
|
5
|
Gandrung
|
439184
|
9111577
|
Pringwatang
|
Girimulyo
|
6
|
Luweng Lor
|
437435
|
9111888
|
Legundi
|
Girimulyo
|
7
|
Pucong
|
438778
|
9111225
|
Macanmati
|
Girimulyo
|
8
|
Jurangjero
|
437712
|
9110111
|
Wintaos
|
Girimulyo
|
9
|
Pringsurat
|
436606
|
9108855
|
Tungu
|
Girimulyo
|
10
|
Grigu
|
436488
|
9106936
|
Petung
|
Giriwungu
|
11
|
Blekonang
|
437693
|
9107014
|
Karang
|
Girikarto
|
12
|
Ketileng
|
438004
|
9108125
|
Doplang
|
Girikarto
|
13
|
Sumurwuni
|
436158
|
9111182
|
Pejaten
|
Giriwungu
|
14
|
Dendeng Welut
|
436471
|
9113708
|
Jurug
|
Giriharjo
|
15
|
Gandu
|
436031
|
9113768
|
Panggang 2
|
Giriharjo
|
16
|
Dak Kawak
|
436551
|
9115438
|
gebang
|
Girisuko
|
17
|
Mendak
|
437947
|
9115262
|
dempul
|
Girisuko
|
18
|
Nongkojorong
|
437797
|
9115725
|
gebang
|
Girisuko
|
19
|
Genji
|
437289
|
9115750
|
gebang
|
Girisuko
|
20
|
Motoendro
|
439811
|
9114432
|
temuireng dua
|
Girisuko
|
21
|
Nglaran
|
440680
|
9114267
|
temuireng satu
|
Girisuko
|
22
|
Nganjan
|
437485
|
9117129
|
turunan
|
Girisuko
|
Kecamatan
Panggang memiliki beberapa mataair dan telaga yng banyak dimanfaatkan
masyarakat sebagai sarana pemenuhan kebutuhan air sehari – hari. Data mataair
dan telaga menunjukkan bahwa terdapat sekitar 11 mataair dan 22 telaga yang terdapat di
Kecamatan Panggang. Keberadaan mataair tersebut melingkupi mataair perenial (mengalir
sepanjang musim) dan intermitten (kering pada musim kemarau). tidak berbeda
jauh dengan kondisi mataair, terdapat beberapa telaga yang mengering di musim
kemarau. Salah satu contoh mataair yang mengalir sepanjang tahun adalah mataair
Sanglor II dan Pacar, sedangkan contoh telaga yang tidak mengering sepanjang
tahun adalah telaga Towet.
Dampak Kekeringan yang Dirasakan Masyarakat di Kecamatan Panggang Kabupaten
Gunungkidul
Kekeringan merupakan masalah
global yang tidak asing lagi bagi manusia. Kekeringan adalah sebuah kejadian di mana periode kering terjadi
melebihi kondisi normal dan mengakibatkan masalah yang berkaitan dengan air (Bryant, 2005). Beberapa indikasi kekeringan diantaranya curah hujan kurang dari
normal dalam hitungan minggu, bulan, atau tahun. Aliran sungai menurun, Jumlah
air yang tersimpan di reservoir semakin sedikit serta kedalaman sumur meningkat
( Nagarajan, 2009 ). Kekeringan akan banyak menimbulkan masalah lain karena air
merupakan kebutuhan vital yang harus dipenuhi untuk bertahan hidup. Selain itu, kekeringan akan
memberikan berbagai dampak terhadap sektor kehidupan yang lain.
Berbagai masalah yang telah disebutkan di atas juga dialami masyarakat
Panggang,
meskipun dengan intensitas yang mungkin berbeda dengan daerah yang lain. Menurunnya curah hujan akan diikuti dengan menurunnya debit mataair serta jumlah air yang tertampung di telaga (Gambar 4). Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat semakin
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Menurunnya ketersediaan air juga berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk yang tinggal di Kecamatan
Panggang masih banyak bergantung pada sektor pertanian tadah hujan yang sangat
tergantung pada curah hujan.
Gambar 4. Telaga Dendeng Welut yang mulai mengering
(Foto oleh : Fatchurohman, 2012 )
Menurunnya
curah hujan dan ketersediaan air menjadi salah satu penghambat dalam
perkembangan lahan pertanian. Kekurangan air menyebabkan tidak dapat menanam komoditas
pertanian atau disebut bero dalam istilah lokal. Lahan bero ini diolah untuk
dapat langsung dimanfaatkan ketika musim penghujan tiba. Ketiadaan hasil pertanian ketika musim kemarau menjadi masalah yang cukup berat dirasakan masyarakat
di samping minimnya ketersediaan air.
Masyarakat
di kawasan Karst Gunungsewu Kecamatan Panggang selain bermata pencaharian sebagai petani juga beternak sebagai pekerjaan
sampingan. Mereka memelihara ternak berupa sapi
atau kambing. Hal ini
berarti bahwa selain harus mencukupi
kebutuhan air untuk domestik dan pertanian, masyarakat yang memiliki ternak
juga membutuhkan air untuk pemeliharaan. Meskipun jumlah air untuk peternakan
relatif sedikit, pemenuhan kebutuhan air untuk ternak juga tidak bisa
diabaikan. Hal itu diperparah dengan harga ternak yang turun ketika musim kemarau. Harga ternak yang cenderung menurun diperparah dengan sulitnya
mendapatkan pakan ternak dan air. Hasil wawancara menyebutkan
bahwa rata-rata dalam sehari
masyarakat yang memiliki ternak harus mengeluarkan paling tidak Rp. 10.000,00 hingga Rp. 20.000,00 untuk
membeli pakan ternak.
Berdasarkan hasil penelitian di
atas, diketahui bahwa jumlah biaya yang harus
dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan air dan
keperluan sehari-hari oleh masyarakat di kawasan karst
Kecamatan Panggang sangat banyak. Namun demikian, hal itu tidak diimbangi dengan meningkatnya jumlah
pendapatan yang diperoleh. Selain itu, menurunnya produksi pertanian dan harga ternak menjadikan pemasukan yang
diterima juga menurun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekeringan memberikan
dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat di kawasan karst Kecamatan
Panggang.
Strategi Adaptasi
Masyarakat Terhadap Bencana Kekeringan di Kecamatan Panggang Kabupaten
Gunungkidul
Minimya sumberdaya air alami yang tersedia dan
tingginya kebutuhan terhadap sumberdaya air mendorong masyarakat melakukan
adaptasi terhadap pemakaian air.
Kekeringan bukan lagi menjadi hal baru bagi masyarakat Kecamatan
Panggang. Hal ini disebabkan karena kekeringan hampir bisa dipastikan datang setiap tahun, sehingga masyarakat telah
memiliki persiapan dalam menghadapinya. Berbagai pola perilaku dan strategi
dalam pemanfaatan sumberdaya air dilakukan agar masyarakat mampu bertahan di
tengah bencana kekeringan.
Pemanfaatan sumberdaya air alami kini tidak
lagi seintensif dulu. Hal
ini karena saat ini telah terdapat jaringan pipa PDAM di Kecamatan
Panggang. Jaringan PDAM di Kecamatan Panggang ditunjang oleh sistem
pegeboran sungai bawah tanah yang terletak di Pantai Ngobaran. Stasiun
pemompaan Ngobaran ini mampu mencakup 3
Kecamatan yaitu Saptosari, Purwosari dan Panggang. Saluran ini mampu mencukupi
lebih dari 6.800 sambungan rumah tangga (Suryono, 2006). Biaya yang dikeluarkan untuk
pembayaran air PDAM adalah sebesar Rp. 37.500,00 untuk setiap pemakaian kurang
dari atau sama dengan 10 m3 per bulan. Namun demikian, apabila
dalam satu bulan satu saluran rumah tangga
menghabiskan air lebih dari 10 m3, maka akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 8.000,00/m3. Air dari PDAM lebih banyak digunakan di musim kemarau untuk kebutuhan
domestik dan ditampung pada PAH yang sudah tidak menampung air hujan.
Penggunaan air dari PDAM ini telah menyebabkan berkurangnya pemanfaatan air
dari mataair, telaga dan air
hujan.
Tangki-tangki penyedia air
juga menjadi alternatif pemasok air bersih. Tangki-tangki tersebut biasanya
mengambil air dari lokasi lain dan menjual pada kisaran harga Rp. 80.000,00
– Rp. 120.000,00 untuk setiap unit
tangki dengan kapasaitas 5000-6000 liter. Tangki tersebut biasanya beroperasi
tergantung pada pesanan. Dalam hitungan jam, pesanan air biasanya sudah bisa diantar
ke lokasi. Air yag dipesan dari tangki tersebut
menjadi pilihan lain bagi warga yang belum memasang instalasi pipa PDAM.
Air dari tangki ditampung dalam PAH yang tidak terisi air hujan pada musim
kemarau.
Selain cara-cara pemenuhan kebutuhan air yang
telah dikemukakan di atas, masyarakat juga melakukan
strategi dengan membedakan fungsi
pemanfaatan sumber air dalam memenuhi
kebutuhan. Sebagai contoh fungsi telaga kini lebih banyak dimanfaatkan untuk
mencuci dan memberi minum ternak, sehingga pengunaan air dari PDAM tidak
terlalu boros. Telaga juga dimanfaatkan secara maksimal pada musim penghujan.
Ketika ketesediaan air di telaga melimpah, kegiatan pemanfaatan air di telaga
lebih intensif sehingga pemakaian air PDAM menurun. Pada musim penghujan masyarakat
juga memaksimalkan fungsi PAH dengan menampung air hujan sehingga kebutuhan air
mereka terpenuhi secara optimal dan penggunaan air dari PDAM dapat dihemat.
Berdasarkan hasil
wawancara juga diketahui bahwa masyarakat memiliki kecenderungan mengurangi
jumlah pemakaian air pada musim kemarau. Kebutuhan air yang tidak terlalu
penting seperti mencuci ternak dan kendaraan dikurangi atau bahkan dihilangkan
pada musim kemarau. Penggunaan air untuk kebutuhan domestik juga diminimalisir
sehingga pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan air tidak terlalu banyak. Kondisi ini terjadi di Dusun Turunan yang
melarang pemakaian air yang berasal dari mataair dusun setempat untuk mencuci
ternak, menyiram tanaman dan mencuci kendaraan pada musim kemarau.
Suryanti (2010) menyebutkan
bahwa dalam konsep strategi adaptasi ekologis, masyarakat kawasan karst memiliki modal atau aset, aktivitas, dan akses
dalam menanggulangi bencana kekeringan. Aset yang dimiliki masyarakat meliputi modal
manusia, modal sosial, modal natural, modal fiskal dan modal finansial. Salah
satu modal natural yang juga dimiliki masyarakat kawasan karst di Kecamatan
Panggang adalah keberadaan sumberdaya air. Sumberdaya air yang ada di Kecamatan
Panggang diantaranya adalah telaga dan mataair.
Salah satu adaptasi ekologis
terhadap kekeringan yang ada di Kecamatan Panggang adalah dengan penerapan
beberapa peraturan terkait pemanfaatan sumberdaya air. Tingginya nilai dan
fungsi sumberdaya air menjadikan masyarakat melakukan upaya pemeliharaan agar
sumberdaya air yang ada tetap terjaga. Peraturan pemeliharaan sumberdaya air
biasanya dilakukan melalui pendekatan kearifan lokal. Peraturan berbasis
kearifan lokal ini cenderung lebih efektif diterapkan pada masyarakat
tradisional kawasan karst yang masih memegang nilai-nilai kebudayaan lokal.
Tabel 1. Contoh adaptasi terhadap kekeringan
No
|
Contoh Adaptasi
|
Lokasi
|
1
|
Pemasangan
Saluran rumah tangga dari PDAM
|
Sebagian besar
Kecamatan Panggang.
|
2
|
Menggunakan
telaga untuk mencuci dan memberi minum ternak sehingga menghemat pengeluaran
untuk air dari PDAM
|
Sebagian besar
Kecamatan Panggang.
|
3
|
Larangan
penggunaan air untuk mencuci motor dan ternak
|
Dusun Turunan.
|
4
|
Perjalanan
panjang ke telaga yang masih dapat dimanfaatkan (terjadi di Desa yang tidak
teraliri PDAM), kebanyakan mereka memanfaatkan telaga yang masih dapat
digunakan
|
Telaga Towet,
Girisekar.
|
5
|
Pergiliran
pemanfaatan air dari mataair
|
Dusun Turunan.
|
6
|
tidak boleh
mencuci beras di telaga, dilarang memandikan ternak di telaga
|
Telaga Towet,
Girisekar.
|
7
|
Memanfaatkan
telaga untuk budidaya ikan saat sudah ada jaringan pipa PDAM
|
Telaga Dendeng
Welut.
|
8
|
Upacara baretan dan membuat kenduri
serta kerja bakti masal membersihkan kawasan mataair
|
Dusun Turunan.
|
Sumber : Pengumpulan data di lapangan
Beberapa contoh kearifan
lokal yang ada diantaranya adalah keberadaan tradisi atau upacara adat untuk
menghormati sumber air seperti telaga atau mataair. Upacara adat yang dilakukan
terdapat dalam berbagai bentuk seperti kenduri, kirab, atau bahkan acara
wayangan. Upacara tersebut dilakukan agar keberadaan sumber air tetap asri dan
penduduk sekitarnya dilimpahi berkah serta terhindar dari marabahaya. Salah
satu contoh pelaksanaan upacara wayangan adalah di Dusun Turunan, Desa
Girisuko. Wayangan dilakukan 3 tahun sekali sebagai wujud rasa syukur dan
penghormatan terhadap kesakralan mataair.
Strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi
kekeringan dilakukan berdasarkan pengalaman puluhan tahun dan turun temurun
dari orang tua mereka. Beberapa cara adaptasi masih dipengaruhi oleh tradisi yang kuat.
Kontrol yang berasal dari budaya dan kearifan lokal akan memberikan pengaruh
yang lebih kuat dan bertahan lama daripada peraturan modern. Cerita mengenai
keangkeran lokasi sumber air misalnya, akan membuat orang takut untuk berbuat
sembarangan di lokasi tersebut. Keberadaan pohon-pohon besar yang dipercaya memiliki makhluk
penunggu menyebabkan orang segan untuk mendekat (gambar 5). Melalui kontrol
budaya lokal tersebut pemeliharaan terhadap sumberdaya air terhadap
karusakan akan lebih mudah.
Gambar 5. Keberadaan pohon besar di Mataair Sanglor.
(Foto oleh : Fatchurohman, 2012)
Secara garis besar,
masyarakat yang tinggal di kawasan Karst Gunungsewu, terutama Kecamatan
Panggang telah memiliki berbagai strategi adaptasi dalam menghadapai bencana
kekeringan. Berbagai strategi tersebut dilakukan berdasarkan pola perilaku yang
telah terbentuk secara turun-temurun. Kondisi tersebut muncul sebagai suatu respon terhadap
kondisi lingkungan di sekitarnya (Hadi, 2009).
KESIMPULAN
1) Potensi sumberdaya air yang ada di Kecamatan Panggang meliputi 11 mataair dan 21 telaga
yang tersebar di beberapa lokasi.
2)
Dampak kekeringan yang
dirasakan masyarakat Kecamatan Panggang meliputi berkurangnya
sumberdaya air akibat menurunnya debit mataair dan jumlah air di telaga, menurunnya produksi pertanian, menurunnya pendapatan, sulitnya mencari
pakan ternak, serta rendahnya harga ternak.
3) Strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi bencana
kekeringan antara lain pengurangan jumlah pemakaian air pada musim kemarau,
pemasangan saluran rumah tangga dari PDAM, optimalisai pemanfaatan PAH, telaga,
dan mataair pada musim penghujan, penggunaan telaga untuk mencuci dan
memandikan ternak, serta berbagai bentuk larangan yang didasarkan kearifan
lokal untuk menjaga kelestarian sumber air.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi
dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Ford, D.C. dan P.W. William. 2007. Karst Geomorphology and Hydrology. Chicester : John Willey and
Sons.
Hadi, S.P.
2009. Manusia dan Lingkungan.
Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Haryono, E. dan Adji, T.N. 2004. Pengantar Geomorfologi dan Hidrologi Karst. Yogyakarta : Kelompok
Studi Karst Fakultas Geografi UGM.
Haryono, E. dan Day, M., 2004. Landform differentiation
within the Gunungkidul Kegel Karst, Java, Indonesia. Journal of Cave and Karst Studies, v.66 no.2. p.62-69.
Haryono, E., 2001. Nilai Hidrologis
bukit Karst. Makalah Seminar Nasional,
Eko-Hidrolik, 28-29 Maret 2001. Jurusan Teknik Sipil, UGM.
Hidayat, B. 2011. Bencana Mengancam Indonesia. Laporan Khusus Kompas. Jakarta :
Kompas.
Irianto, G 2003. Kekeringan Lebih Berbahaya
daripada Banjir. Surat Kabar Harian
Kompas, 21 Agustus 2003.
Mangunsukardjo, K. 1999. Kajian Geomorfologi untuk
Perencanaan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Oyo, Gunungkidul, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi
Indonesia,Th. 13 No. 23.Maret 1999. Hal : 1-11.
Nagarajan, R. 2009. Drought
Assessment. New Delhi : Springer.
Suryanti, E.D.; Sudibyakto, dan Baiquni, M. 2010. Strategi Adaptasi
Ekologis Masyarakat di Kawasan Karst Gunungsewu dalam Mengatas Bencana
Kekeringan. Jurnal Kebencanaan
Indonesia, Vol. 2 No. 3. Hal: 658-673
Suryono, T. 2006. Pengelolaan Sumber Air Bawah Tanah
Sungai Bribin. Gunung Sewu Indonesian
Cave and Karst Journal,2/1(2006):
37-52.
Suyono. 2007. Identifikasi Daerah Rentan Kekeringan . Laporan Penelitian, Nomor: UGM/GE/ 30f/KS/M/04/05
White, W.B., 1988. Geomorphology
and Hydrology of Karst Terrains. New York : Oxford University Press.